Dalam kehidupan yang serba sibuk, manusia kerap lupa bahwa salah satu nikmat terbesar dari Allah adalah ditutupinya dosa-dosa kita dari pandangan orang lain.
Inilah pesan mendalam yang disampaikan KH. Najih Ihsan, M.Pd.I, anggota Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, dalam tausiyahnya tentang istighfar dan tobat nasuha yang dikutip dari kanal Youtube Baitul Arqom Joss.
Dalam kajiannya, Najih Ihsan mengulas lanjutan pembahasan Kitab Tauhid yang telah dipelajari lebih dari lima tahun.
Dia menjelaskan tema yang dibahas kali ini difokuskan pada bab istighfar, yang meskipun tampak sederhana, memiliki kedalaman makna luar biasa.
Nabi Muhammad saw bahkan pernah melarang penggunaan lafaz istighfar yang mengandung syarat, seperti doa, “Allahummaghfirli in syi’ta, Allahummarhamni in syi’ta” (Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki, rahmatilah aku jika Engkau menghendaki).
Menurut Kiai Najih, doa semacam ini dilarang karena mengandung kesan seolah-olah kehendak Allah bisa terhalang atau terbatas, padahal kekuasaan Allah tidak mengenal batas.
Mengutip Surah Luqman ayat 20, Kiai Najih menegaskan, Allah telah menundukkan seluruh ciptaan di langit dan bumi untuk kepentingan manusia.
Hal ini menjadi tanda nyata rububiyah Allah, yaitu kekuasaan-Nya dalam menciptakan, mengatur, dan mengendalikan alam semesta.
Dia kemudian menjelaskan bahwa nikmat Allah terbagi menjadi dua: nikmat lahir dan nikmat batin.
“Nikmat lahir mencakup bentuk tubuh, organ, kesehatan, penglihatan, pendengaran, hingga kesempurnaan penciptaan manusia,” katanya.
Nikmat batin, imbuh dia, meliputi akal, ilmu pengetahuan, dan kemampuan manusia yang tersimpan di dalam dirinya, termasuk karunia besar berupa ditutupinya dosa-dosa manusia dari pengetahuan orang lain.
“Bayangkan, kalau setiap dosa yang kita lakukan ditampakkan kepada orang lain, betapa berat hidup ini. Tetapi Allah menyimpannya, inilah nikmat batin yang luar biasa,” ujar Najih.
Kiai Najih menegaskan, setiap manusia pasti memiliki salah dan dosa, namun Allah SWT membuka pintu taubat selebar-lebarnya.
Doa mengingatkan jamaah untuk menjalani taubatan nasuha, yakni tobat yang murni dan sungguh-sungguh.
Tobat ini memiliki tiga syarat utama, yakni menyesali dosa yang telah dilakukan, bertekad kuat untuk kembali kepada Allah, dan tidak mengulangi kesalahan yang sama, sebagaimana mustahilnya susu yang sudah diperah kembali ke dalam kantong susu hewan.
“Memang sulit, tapi bukan berarti mustahil. Rasulullah sendiri beristigfar lebih dari 70 hingga 100 kali setiap hari. Itu menjadi teladan bagi kita agar tidak putus asa dari ampunan Allah,” tegas Najih.
Menurut Najih, sudah sepantasnya umat Islam memperbanyak istigfar dan taubat nasuha. Dia menegaskan, sebesar apapun dosa seorang hamba, Allah Maha Luas Rahmat-Nya.
“Jangan pernah merasa dosa kita terlalu besar hingga Allah tak mampu mengampuninya. Itu justru bentuk pelanggaran tauhid. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan tak ada satu pun yang dapat menghalangi kehendak-Nya,” paparnya.
Kiai Najih juga menyinggung tentang empat aspek iman kepada Allah yang harus dipahami setiap muslim:
1. Iman kepada wujud Allah, meyakini bahwa Allah benar-benar ada meski tak bisa digambarkan oleh akal manusia.
2. Iman kepada rububiyah Allah, meyakini Allah sebagai pencipta dan pengatur seluruh alam semesta.
3. Iman kepada uluhiyah Allah, menegaskan bahwa hanya Allah satu-satunya yang berhak disembah.
4. Iman kepada asma’ wa shifat, meyakini nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Kiai Najih menyinggung realitas kehidupan manusia yang kian menua. Dia mengingatkan bahwa memasuki usia senja berarti semakin dekat dengan akhirat.
Karena itu, menjaga iman, memperbanyak amal shalih, serta melatih akal dan ingatan dengan mengulang hafalan ayat-ayat Al-Qur’an adalah bagian dari ikhtiar agar tetap sehat lahir batin.
“Kalau usia sudah 70, jangan lagi menumpuk dosa. Gunakan sisa umur untuk memperbanyak amal, istighfar, dan mempersiapkan diri menghadap Allah,” ujarnya.
Kiai Najih kembali menekankan bahwa doa seorang hamba harus mencerminkan keyakinan penuh kepada Allah. Tidak boleh ada keraguan atau syarat dalam memohon ampunan.
“Kalau tidak Engkau ya Allah, lalu siapa lagi? Nabi saja tidak bisa menghapus dosa. Malaikat pun tidak mampu. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat kita bergantung. Inilah hakikat tauhid yang sejati,” pungkasnya. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments