Surabaya sejak lama dikenal sebagai kota pelabuhan yang terbuka. Letaknya strategis di pesisir utara Jawa Timur menjadikannya pintu gerbang perdagangan di timur Nusantara.
Sejarah mencatat bahwa sejak abad ke-13, ketika bangsa Mongol mendarat di Jawa, Surabaya sudah berperan sebagai pintu masuk penting menuju pedalaman.
Pada abad ke-15, hubungan itu semakin kuat dengan kedatangan armada Laksamana Cheng Ho. Ekspedisi besar dari Tiongkok ini singgah di berbagai pelabuhan Jawa, termasuk Tuban, Gresik, dan Surabaya.
Jejak ekspedisi Cheng Ho terekam dalam buku Ying-yai Sheng-Lan karya Ma Huan, penerjemah sekaligus juru tulis dalam rombongan Cheng Ho.
Buku yang ditulis pada 1433 itu mendeskripsikan kehidupan masyarakat Jawa dengan sangat detail: mulai dari adat istiadat, tata kota, pakaian bangsawan, hingga alat transportasi yang menggunakan gajah dan sapi.
Dalam catatan tersebut, Surabaya disebut sebagai salah satu kota pesisir penting. Armada Cheng Ho singgah di sini sekitar empat bulan, antara Maret hingga Juli.
Dari pelabuhan laut, mereka berlayar menggunakan perahu kecil menyusuri Kali Mas hingga ke Canggu, lalu melanjutkan perjalanan darat menuju Majapahit.
Dari gambaran itu, jelas bahwa Surabaya kala itu berada di tepian sungai besar, dekat muara, sehingga hanya bisa diakses dengan perahu dari kapal utama.
Sìshuǐ 泗水: Surabaya dalam Bahasa Mandarin
Menariknya, Surabaya dalam catatan Tionghoa kuno disebut Sìshuǐ (泗水), yang berarti “Empat Air”. Nama ini menggambarkan kondisi geografis kota yang dikelilingi aliran sungai besar:
- Sungai Kalimas di barat,
- Sungai Pegirian di timur,
- serta aliran yang kini mati: Kalimati Wetan, Kalimati Kulon, dan Kalimalang.
Kawasan “Sìshuǐ” inilah yang kemudian dikenali sebagai cikal bakal Pecinan Surabaya, sebuah kawasan yang tumbuh di tengah persimpangan perdagangan dan pertemuan budaya.
Pecinan Surabaya: Jejak yang Masih Hidup
Jejak peradaban Tionghoa masih nyata hingga kini di kawasan Kota Lama Surabaya. Pecinan dengan gang-gang sempit, rumah toko bergaya arsitektur kolonial–Tionghoa, serta klenteng tua seperti Klenteng Hok An Kiong di Kembang Jepun menjadi saksi perjalanan panjang komunitas Tionghoa di Surabaya.
Di kawasan ini, tradisi dan modernitas berjalan berdampingan. Aroma dupa dari klenteng bercampur dengan hiruk-pikuk pasar tradisional, toko obat Cina, hingga kuliner legendaris yang masih ramai dikunjungi warga.
Pecinan Surabaya bukan sekadar ruang fisik, melainkan juga ruang sosial dan kultural yang membentuk wajah kota hingga kini.
Namun, keberadaan Pecinan kini bersinggungan dengan pesatnya modernisasi. Gedung-gedung baru, alih fungsi lahan, dan gaya hidup metropolitan membuat jejak sejarah ini terancam memudar.
Jika tidak ada upaya serius untuk membingkai dan melestarikannya, Sìshuǐ bisa saja hilang ditelan zaman.
Padahal, Surabaya adalah kota dengan identitas heterogen. Selain etnis Tionghoa, terdapat pula Jawa, Madura, Arab, hingga suku-suku lain dari berbagai penjuru Nusantara.
Keberagaman ini telah lama menjadi ciri khas Surabaya, membentuk tradisi pluralisme dan toleransi yang hidup hingga hari ini.
Sìshuǐ (Empat Air) bukan sekadar nama lama Surabaya dalam bahasa Mandarin. Ia adalah simbol perjumpaan, keterbukaan, dan akulturasi budaya yang menghidupkan kota ini sejak ratusan tahun lalu.
Membingkai jejak Pecinan Surabaya berarti merawat memori kolektif kota, agar keberagaman yang menjadi identitas Surabaya tetap lestari. Sebab, Surabaya tanpa jejak Sìshuǐ bukanlah Surabaya yang sesungguhnya. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments