Search
Menu
Mode Gelap

Kesenjangan Pendidikan, Salah Siapa?

pwmu.co -
Oleh Dwi Kurniadi – Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta

 PWMU.COAkhir-akhir ini media sosial (medsos) terlanda tren tentang “kesenjangan”. Mengadopsi dari realitas kehidupan rakyat Indonesia yang penuh dengan kesenjangan — mulai dari segi sosial, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Kecanggihan teknologi yang kian cepat memberikan kemudahan dalam akses bagi para penggunanya. Segala informasi sangat mudah ditemukan hanya melalui internet. Itulah mengapa Generasi Z atau Gen Z mudah sekali memperoleh informasi secara instan. Meski informasi yang diperolehnya tidak menjamin kebenarannya. 

Dari semua konten yang berseliweran di medsos, penulis menjadi tertarik terkait satu topik yang mungkin sangat erat dengan keadaan kita saat ini, yaitu “kesenjangan pendidikan”. Mengapa kesenjangan pendidikan itu bisa terjadi? Tidak sekedar itu, tetapi juga tentang siapa yang utama untuk bertanggung jawab atas kesenjangan pendidikan ini?

Pendidikan merupakan aspek penting dan fundamental dalam berkehidupan. Di era sekarang pendidikan telah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Karena melalui pendidikan, manusia akan mampu mengatasi setiap tantangan dalam kehidupannya di dunia. 

Banyak pula tokoh pendidikan bangsa kita yang telah mempunyai sumbangsih besar terhadap negara ini; seperti Ki Hajar Dewantara dengan gagasan “ing ngarso sung tuladha, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, Kiai Haji Ahmad Dahlan dengan organisasi Muhammadiyahnya yang sistem perkaderannya bervisi mencerdaskan dari akar rumput dahulu (bottom up), atau Kiai Haji Hasyim Asy’ari dengan Nahdlatul Ulama (NU)nya  yang mampu menyentuh dakwah hingga ke masyarakat yang sangat tradisional.

Pertanyaannya, apakah sumbangsih yang sangat luar biasa itu dapat membawa Indonesia menjadi negara yang maju melalui pendidikan atau justru sebaliknya? Melansir dari situs World Population Review (WPR), rata-rata Intelligence Quotient (IQ) orang Indonesia pada 2024 adalah 78,49. Angka ini berada di bawah rata-rata IQ global yang berkisar antara 85 hingga 115. Dengan jumlah IQ ini, Indonesia menduduki peringkat ke-127 dari 197 negara .

Pentingnya Pendidikan

Kaisar Jepang — ketika Kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat (AS) dalam Perang Dunia II — Hirohito dengan statemen spektakulernya dengan sebuah pertanyaan, “berapa guru yang tersisa?”. Hal itu karena Kaisar percaya bahwa kunci dari sebuah kemajuan dan masa depan bangsa terletak pada guru dan pendidikan.

Sejarah telah mencatat, betapa pentingnya pendidikan untuk kehidupan. Bahkan ajaran Islam menekankan bahwa pendidikan itu merupakan basis utama untuk kehidupan. Pembuktiannya dengan turunnya wahyu pertama yang sampai pada Nabi Muhammad yaitu Quran Surat Al-Alaq ayat 1-5. Luar biasanya, permulaan kata dari wahyu tersebut yaitu kata Iqra’ yang artinya “Bacalah!”. 

Konteks Inilah yang harus dipahami oleh segenap umat manusia, bahwa tradisi membaca merupakan basis awal pendidikan. Tanpa memiliki tradisi membaca. pendidikan tidak akan pernah ada. Karena itulah, bangsa Arab menjadi kawasan yang berperadaban maju.

Realitas Pendidikan di Indonesia 

Pada Pembukaan UUD 1945 ada kalimat “..Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kalimat tersebut menyiratkan bahwa kemajuan bangsa Indonesia harus dilalui dengan cara mencerdaskan bangsa. 

Iklan Landscape UM SURABAYA

Ironisnya, realita pendidikan di Indonesia saat ini masih pada level terendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Masih banyak sekolah yang kurang memadai, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Fasilitas — seperti laboratorium, perpustakaan, lab komputer, dan ruang kelas — yang seharusnya menjadi penunjang utama pendidikan, justru terbengkalai tiada guna. Sedang di perkotaan banyak siswa yang menganggap pendidikan sebagai hal yang tidak penting dan tidak berguna,

Kita harus sadar, pendidikan yang bobrok akan berimbas atau mempengaruhi aspek kehidupan lainnya. Diantaranya adalah inkompetensi atau tidak memiliki kemampuan (kompetensi). Akibat lanjutannya adalah timbulnya titik rawan kejahatan yang berakar dari kebodohan. Pelecehan seksual, korupsi, perampokan, tawuran antar remaja menjadi bukti ketika pendidikan kurang mengakar pada jiwa setiap individu masyarakat Indonesia. 

Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2024–2029, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, mengusung gagasan utama dalam kepemimpinan mereka, yaitu program Makanan Bergizi Gratis (MBG) dengan tujuan menurunkan angka stunting yang masih tinggi di Indonesia. Untuk menjaga keberlangsungan program ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami efisiensi di berbagai sektor. Sayangnya, sektor pendidikan menjadi salah satu yang terdampak paling signifikan. Terjadi peningkatan Uang Kuliah Tunggal (UKT) serta pencabutan beberapa beasiswa yang sebelumnya tersedia. Padahal, pendidikan seharusnya menjadi hak dasar seluruh rakyat Indonesia.

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan ini menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Di sisi lain, program MBG justru menimbulkan masalah baru, seperti munculnya kasus keracunan makanan sebagaimana yang viral di media sosial. Ironisnya, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, terutama di sektor pangan, yang seharusnya bisa termanfaatkan lebih optimal. Gelombang unjuk rasa pun terjadi di berbagai daerah sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap program ini. Seharusnya, pemerintah lebih memprioritaskan sektor pendidikan, karena pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan masyarakat yang kreatif, inovatif, dan produktif, terutama dalam menghadapi tantangan dunia kerja.

Pendidikan merupakan salah satu faktor utama penentu kemajuan suatu bangsa. Masyarakat yang berpendidikan dan pemimpin yang berwawasan luas adalah kunci keberhasilan tersebut. Oleh karena itu, akses terhadap pendidikan harus merata hingga ke pelosok Indonesia, tanpa memandang status ekonomi—baik yang miskin maupun yang kaya—agar kesenjangan pendidikan tidak terus terjadi.

Alokasi anggaran negara seharusnya secara efisien untuk masa depan bangsa, yaitu dengan memaksimalkan sektor pendidikan. Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk masa depan yang lebih baik, termasuk dalam upaya memberantas tindak kejahatan seperti korupsi yang masih menghantui bangsa ini.

Dengan pendidikan, masyarakat akan lebih berani menyuarakan kebenaran dan menolak budaya saling menutupi kesalahan. Sebaliknya, kebenaran harus tegak agar keburukan tidak mendapat ruang untuk berkembang. (*)

Editor Notonegoro

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments