Sabtu pagi ini, seusai menunaikan salat Subuh di Masjid Baiturrahman Raya Jati dan menyeruput kopi di Warkop BNN Sidoarjo, saya tiba di rumah dengan suasana hati yang tenang.
Namun ketenangan itu terusik ketika sebuah video muncul di layar WhatsApp. Video tersebut dikirim oleh Dr. W. Qodratulloh, S.SPd., M.Ag. dari Jawa Barat.
Tayangan itu memperlihatkan kondisi masyarakat di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang terdampak banjir bandang—sebuah realitas yang terlalu berat untuk sekadar dilewati begitu saja.
Bangunan rumah luluh lantak, jalan-jalan berubah menjadi aliran lumpur, dan sisa-sisa kehidupan tampak berserakan tanpa arah.
Dada terasa sesak. Namun di balik keterkejutan itu, muncul kesadaran bahwa video ini bukan sekadar dokumentasi bencana, melainkan bahan renungan mendalam tentang relasi manusia dengan Tuhan dalam situasi paling ekstrem.
Bagian yang paling menyentuh dari tayangan tersebut adalah keberadaan individu-individu yang tetap melaksanakan salat di tengah puing dan lumpur.
Ada ibu-ibu dengan mukena yang ternoda tanah, tetap berdiri dan bersujud tanpa ragu. Ada pula beberapa laki-laki yang menunaikan salat di bawah guyuran hujan yang belum sepenuhnya reda.
Pemandangan itu terasa begitu indah—sebuah potret keteguhan spiritual yang tidak terhapus oleh kehancuran fisik.
Dari perspektif kajian keagamaan, fenomena ini menunjukkan bahwa ibadah sejatinya adalah ekspresi kebergantungan eksistensial kepada Allah. Ia bukan sekadar praktik ritual yang bergantung pada kenyamanan ruang dan kondisi.
Ketika ruang hidup runtuh dan kepastian dunia goyah, justru yang muncul ke permukaan adalah inti iman itu sendiri: keikhlasan, ketundukan, dan kesadaran bahwa kehidupan dunia bersifat sementara.
Mereka yang terekam dalam video tersebut seakan sedang melakukan dialog hening dengan Sang Pencipta.
Tanpa kata, tanpa keluhan, mereka menyampaikan pesan bahwa keterbatasan material tidak akan menghalangi penghambaan. Di tengah lumpur dan puing, mereka menemukan kembali makna berserah yang paling murni.
Lebih jauh, video tersebut mengingatkan kita bahwa bencana tidak selalu harus dibaca semata sebagai musibah alam.
Dalam tradisi keislaman, bencana sering kali dipahami sebagai seruan untuk menata ulang orientasi hidup.
Ketika tanah yang diinjak tiba-tiba kehilangan stabilitas, manusia seakan diajak untuk meninjau ulang apa yang selama ini dianggap paling kokoh.
Dalam sujud mereka, tersirat pengakuan mendalam bahwa akhirat adalah tujuan utama, sementara dunia yang fana hanyalah tempat singgah.
Dunia menuntut usaha, tetapi iman menuntut keteguhan moral. Di sanalah keduanya bertemu—dalam kesadaran bahwa hidup bukan sekadar tentang bertahan, melainkan tentang tetap lurus di hadapan Allah.
Refleksi ini menghadirkan dua renungan fundamental. Pertama, keteladanan masyarakat terdampak menjadi pelajaran berharga tentang integritas spiritual. Dalam situasi paling sulit sekalipun, iman tidak kehilangan tempatnya.
Dakwah, karenanya, tidak cukup berhenti pada penyampaian pesan, tetapi harus mampu membangun keteguhan hati.
Kedua, video ini mendorong kita untuk menguatkan empati sosial melalui aksi nyata. Spiritualitas sejati harus bertransformasi menjadi kesediaan membantu sesama yang sedang berada pada titik terendah dalam hidupnya.
Dari tayangan tersebut, kita memperoleh pesan yang jauh melampaui gambaran bencana. Di tengah kerusakan material, justru tampak kilau iman yang semakin terang.
Sujud mereka seolah membisikkan bahwa hubungan dengan Tuhan tidak dapat diputus oleh genangan lumpur, derasnya hujan, ataupun runtuhnya rumah.
Di balik musibah itu, mereka menghadirkan pengingat sunyi bagi kita semua: bahwa ada nilai yang lebih tinggi daripada kenyamanan duniawi, yakni kesadaran untuk kembali kepada Allah dengan hati yang bersih dan teguh.
Barangkali, yang paling diuji dari bencana bukan hanya mereka yang kehilangan rumah, tetapi juga kita yang menyaksikan dari kejauhan.
Apakah hati kita ikut tergugah, atau justru tetap kering di tengah limpahan informasi? Sujud di atas lumpur itu sejatinya mengetuk nurani kita—meminta agar iman tidak hanya hidup di saat lapang, tetapi juga hadir dalam kepedulian dan keberpihakan kepada yang terluka.
Semoga catatan ini menjadi cermin bagi diri kita sendiri: bahwa iman bukan sekadar dihafalkan, melainkan dijalani; bukan hanya dipamerkan dalam kata, tetapi ditegakkan dalam sikap dan tindakan.
Semoga Allah SWT melindungi saudara-saudara kita yang sedang diuji, menguatkan langkah mereka, dan menumbuhkan dalam diri kita keberanian untuk berbagi, peduli, dan tetap bersujud—apa pun kondisi yang sedang kita hadapi. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments