
PWMU.CO – Data Kemendikbudristek 2025 mencengangkan: 85% debat akademik kini terjadi di media sosial, sementara diskusi di ruang kelas justru makin sepi. Tapi jangan salah sangka—ini bukan tanda semangat intelektual yang membara, melainkan bukti bahwa kampus-kampus kita tengah mengalami “migrasi massal” ke dunia digital, lengkap dengan segala drama klasiknya.
Menurut SAFENET, sebanyak 42 kasus persekusi digital pada 2023 berawal dari perdebatan antara dosen dan mahasiswa di Twitter—yang eskalasinya bahkan lebih panas daripada skripsi yang mengalami revisi puluhan kali.
Lihatlah fenomena ini, seorang profesor men-tweet jurnal internasional, lalu mahasiswanya membalas dengan thread panjang berisi “koreksi gaya bahasa sekaligus sindiran personal”. Dalam hitungan jam, yang terjadi bukan lagi diskusi ilmiah, tapi “perang quote-tweet” melibatkan kubu pendukung, netizen random, hingga akun-akun anonim yang sengaja mengadu domba. Hasilnya? *terdapat 23% akademisi yang memilih mundur dari diskusi publik (Kemendikbudristek, 2024)—bukan karena kalah argumen, tapi lelah oleh bully digital.
Program “pandu digital” mereka tidak sekadar mengajarkan cara pakai zoom, tapi juga “etika berdebat ala Rasulullah di timeline Twitter“. Ada 9 (sembilan) poin ‘Akhlakul Sosmediyah’, yang salah satunya: “Jangan like postingan lawan debat sebelum tabayyun“. Efeknya? Kampus-kampus Muhammadiyah berhasil menekan 45% konflik digital hanya dengan satu jurus sederhana: “baca dulu, hati-hati share, jangan serang pribadi” (MPT Muhammadiyah, 2024). Tapi di luar sana, medsos masih seperti “kalau kalah argumen, serang grammar-nya”.
BRIN menemukan pola menarik, 67% persekusi akademik di mulai dari komentar singkat dari instagram ke whatsApp grup. Selanjutnya dikristalisasi menjadi kampanye cancel culture terorganisir (Widodo dkk., 2024). Mirip sekali dengan preman pasar jaman dulu—bedanya, sekarang senjatanya bukan golok, melainkan screenshot yang di edit out of context*.
Digital Ihsan
Kemendikbudristek menggelontorkan Rp 45 miliar untuk platform keamanan digital. Tapi tentu saja uang sebanyak itu tidak akan cukup jika mentalitas kita masih “lebih baik viral daripada valid“. Muhammadiyah menawarkan konsep “Digital Ihsan”, berinteraksi di medsos seperti sedangdalam pengawasan Allah Yang Maha Melihat, jadi bukan sekadar mengejar engagement.
Di tengah gempuran AI dan Deepfake, tantangan terbesarnya adalah membuat akal sehat lebih menarik daripada kontroversi. Seperti pesan Kiai Haji Ahmad Dahlan yang saya re-imajinasikan: “zaman now, yang paling revolusioner bukan yang paling banyak bikin thread, tapi yang berani pause sebelum share“.
Sayangnya, kita hidup di era algoritma lebih cepat membaca emosi ketimbang etika. Mesin hanya peduli apakah konten kita membuat orang marah, tertawa, atau takut—bukan apakah itu benar atau bermanfaat. Maka, tugas manusia hari ini bukan sekadar melek digital, tapi juga melek akhlak. Kita butuh literasi yang bukan cuma mengajarkan cara menggunakan, tapi juga cara bertanggung jawab dalam menggunakan.
Konsep “Digital Ihsan” dari Muhammadiyah menjadi nafas segar di tengah keriuhan tersebut. Ihsan bukan hanya perkara niat, tapi bagaimana teknologi pun diperlakukan sebagai ladang amal. Jika dulu berdakwah butuh mimbar, hari ini cukup lewat kolom komentar. Tapi ingat, seperti kata Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ironisnya, justru banyak yang ingin viral karena merasa tidak didengar. Rasa ingin eksis mengalahkan rasa ingin refleksi. Padahal, dalam sunyi, sering kali lahir pemikiran yang jernih. Maka, bukan hanya “pause sebelum share”, kita juga perlu diam sebelum bereaksi. Apalagi jika informasi datang dari akun anonim yang lebih suka menyulut amarah ketimbang membuka ruang diskusi.
Di sinilah urgensi lembaga pendidikan untuk tidak hanya fokus pada capaian akademik, tapi juga kesehatan digital peserta didiknya. Perlu ada ruang-ruang diskusi yang mengajarkan perbedaan pendapat sebagai berkah, bukan sebagai bahan saling membatalkan. Sebab di dunia maya yang semakin keras, mereka butuh bekal untuk menjadi lembut.
Budaya digital yang rahmatan lil ‘alamin
Lebih dari sekadar literasi media, kita perlu membangun budaya digital yang rahmatan lil ‘alamin. Media sosial bukan musuh, tapi cermin. Kalau di cermin kita melihat kemarahan, bisa jadi itu bukan salah kaca—tapi wajah kita yang lupa tersenyum. Maka mari kita mulai dari diri sendiri: berani bijak, meski tidak trending.
Di tengah gegap gempita digitalisasi kampus, kita justru diingatkan bahwa adab warung kopi—yang penuh logika, jeda, dan rasa hormat—mulai ditinggalkan demi debat instan di kolom komentar. Jika akademisi lebih seru bertengkar di medsos daripada di kelas, mungkin saatnya bukan hanya memperbarui kurikulum, tapi juga memperdalam akhlak digital kita. Sebab ilmu tanpa adab hanya akan jadi riuh yang tak meninggalkan hikmah.(*)
Editor Notonegoro


0 Tanggapan
Empty Comments