Agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda, meski keduanya saling berhubungan. Agama merupakan ciptaan Tuhan, sedangkan budaya adalah hasil olah budi manusia yang diwariskan secara turun-temurun.
Pepatah mengatakan, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Artinya, setiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda. Satu aturan yang berlaku di suatu tempat bisa saja tidak berlaku di tempat lain.
Dalam komunikasi tulis, misalnya, masyarakat Jawa memiliki aksara Jawa. Kaum santri di pesantren tradisional menggunakan aksara Pegon. Sementara masyarakat Tionghoa menggunakan aksara Hanzi.
Baik aksara Jawa, Pegon, maupun Hanzi, semuanya merupakan produk budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi, bukan ajaran agama. Namun demikian, hubungan antara aksara dan agama memang cukup erat, sebab aksara kerap menjadi media penyebaran ajaran agama dan mengandung nilai-nilai religius di dalamnya.
Aksara Hanzi merupakan aksara masyarakat Tiongkok, yang sebagian penduduknya memeluk agama Islam. Islam sendiri telah hadir di Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi dan kini dianut oleh sekitar 17–25 juta Muslim dari berbagai etnis minoritas, terutama suku Hui dan Uighur.
Suku Hui, misalnya, menggunakan bahasa Mandarin dengan aksara Hanzi dalam kehidupan sehari-hari, sama seperti masyarakat Tionghoa pada umumnya.
Karena itu, aksara Hanzi juga berperan penting dalam penyebaran Islam di Tiongkok, melalui proses asimilasi budaya. Bahkan, masjid tertua di Guangzhou, Masjid Huaisheng, menggunakan aksara Hanzi pada berbagai penanda dan ornamen keagamaannya.
Seiring waktu, para cendekiawan Muslim Tionghoa pun menggunakan Hanzi untuk menerjemahkan dan menyesuaikan ajaran Islam ke dalam bahasa serta budaya lokal.

Hasil karya mereka dikenal dengan sebutan Han Kitab, yaitu kumpulan teks Islam berbahasa Tionghoa yang menjelaskan ajaran Islam dengan istilah dan pendekatan Konfusianisme.
Dari sini dapat dipahami bahwa aksara Hanzi tidak dapat diidentikkan dengan agama tertentu, seperti Buddhisme, Taoisme, atau Konfusianisme.
Hanzi hanyalah alat komunikasi dan ekspresi budaya, termasuk dalam konteks penyebaran ajaran Islam. Aksara ini menjadi jembatan yang memungkinkan perpaduan harmonis antara keyakinan Islam dan budaya Tionghoa.
Contoh perpaduan tersebut dapat dilihat di lingkungan Masjid Cheng Ho Surabaya, di mana banyak Muslim Tionghoa bernaung dalam organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).
Didirikan pada 14 April 1961 di Jakarta, PITI berfungsi sebagai wadah dakwah, pembinaan keagamaan, dan persatuan bagi umat Muslim Tionghoa di Indonesia.
Sebagai produk budaya, aksara Hanzi merupakan sistem tulis yang kaya makna dan sarat sejarah. Lebih dari sekadar simbol huruf, Hanzi adalah warisan leluhur yang masih digunakan hingga kini.
Di Tiongkok modern, masyarakat Tionghoa memeluk berbagai agama dan kepercayaan — mulai dari Buddha, Katolik, Kristen, Islam, Konghucu, hingga Taoisme — namun tetap menggunakan aksara Hanzi sebagai bahasa tulis mereka.
Singkatnya, apa pun agamanya, tradisi tulis masyarakat Tionghoa tetap berpijak pada Hanzi. Aksara ini adalah warisan budaya yang hidup, bukti nyata kesinambungan peradaban dari masa ke masa.
Sayangnya, di Surabaya, tidak semua warga etnis Tionghoa masih memahami dan menggunakan aksara tradisional Hanzi. Bahkan nama “Sìshuǐ,” sebutan Mandarin untuk Surabaya, belum banyak dikenal secara luas. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments