Perang Mu’tah bukan hanya sebagai peristiwa sejarah, tetapi sebagai sumber hikmah dan strategi hidup terutama menghadapi tantangan zaman modern.
Hal itu Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Sukamta saat menyampaikan Khotbah Jumat di Masjid Ahmad Dahlan UMY, Jumat (5/12/2025).
Mengangkat tema “Perang Mu’tah: Ujian dan Kemenangan Hakiki?, Sukamta membuka pemaparan dengan menggambarkan konteks sejarah peristiwa Mu’tah, perang yang dipimpin oleh Rasulullah saw sebagai bentuk menjaga kehormatan setelah terbunuhnya utusan kaum Muslim.
Misi itu dijalankan oleh 3.000 pasukan Muslim yang dihadapkan pada kekuatan Romawi yang jumlahnya mencapai lebih dari 100.000 prajurit.
“Secara logika manusia, perang ini ibarat misi mustahil. Namun di balik angka yang timpang, terdapat pelajaran besar tentang iman, kepemimpinan, strategi, dan keteguhan hati,” ujar Sukamta.
Dalam perang tersebut, tiga panglima yang ditunjuk Rasulullah ialah Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Talib, dan Abdullah bin Rawahah yang akhirnya gugur satu per satu.
Namun panji perang tak pernah jatuh, hingga akhirnya, Khalid bin Walid memimpin pasukan dengan strategi cemerlang yang mengacaukan pola pikir musuh dan mengubah jalannya peperangan.
“Perang Mu’tah bukan sekadar kisah pedang dan darah, tapi kisah tentang visi, keberanian, dan memenangkan tujuan tanpa harus menguasai,” tegasnya.
Kendati pasukan Muslim akhirnya mundur secara terhormat, tujuan utama tercapai, yakni menjaga kehormatan Islam. Rasul menyebut peristiwa itu sebagai kemenangan.
Sukamta merangkum hikmah Perang Mu’tah sebagai bekal moral bagi umat Islam termasuk civitas akademika UMY.
Pertama, tentang ketaatan sepenuhnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Para panglima dalam Perang Mu’tah tidak memilih posisi berdasarkan ambisi, tetapi mengemban tugas sebagai amanah. Hal ini tercermin ketika Khalid bin Walid baru mau menerima panji setelah ditunjuk oleh pasukan yang tersisa.
Kedua, peristiwa ini mengajarkan keteguhan dalam menghadapi ujian besar. “Allah menurunkan QS. Ali-Imran ayat 139 ketika kondisi umat sangat berat: Janganlah kamu merasa lemah dan bersedih hati, kamu adalah yang paling tinggi jika kamu beriman,” jelasnya.
Ketiga, Perang Mu’tah adalah contoh estafet kepemimpinan yang mulia, nilai yang relevan dalam organisasi dan institusi pendidikan. Panji kepemimpinan berpindah tanpa kekacauan, tanpa ambisi pribadi, dan tanpa kekosongan tanggung jawab.
“Orang boleh wafat, tapi panji perjuangan tidak boleh jatuh. Pendiri UMY mungkin telah tiada, tetapi marwah UMY harus tetap hidup dan berjaya,” ungkapnya.
Sukamta kemudian mengaitkan nilai Perang Mu’tah dengan kehidupan modern: tekanan kerja, tantangan ekonomi, dinamika relasi keluarga, dan derasnya distraksi digital di kalangan anak muda.
“Kadang-kadang kita sedang menghadapi Mu’tah-Mu’tah kecil dalam hidup kita: deadline pekerjaan, gugatan target, ujian akademik, atau godaan dunia digital,” tuturnya.
Dia mengingatkan jamaah agar fokus pada hal-hal yang bermanfaat dan meninggalkan kebiasaan sia-sia, seperti menghabiskan waktu dengan scroll media sosial tanpa batas, debat yang tidak produktif, atau bekerja sekadar menggugurkan kewajiban.
Rasulullah memberikan prinsip emas menghadapi tantangan besar: “Bersungguh-sungguhlah pada yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim).
Sukamta menekankan bahwa kemenangan sejati bukan ditentukan jumlah, kekuatan fisik, atau standar duniawi. Melainkan iman, kesungguhan, strategi, dan tawakal.
“Hidup ini bukan tentang menang menurut manusia, tetapi menang di sisi Allah. Dan Mu’tah mengajarkan bahwa mundur bukan selalu kalah terkadang itu jalan terbaik menuju kemenangan,” tutupnya. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments