Siapa sangka, ranting kopi dan alpukat yang biasanya menjadi limbah pangkasan, kini berpotensi menjadi solusi di tengah kelangkaan gas elpiji (LPG) yang kerap melanda masyarakat, terutama di wilayah pedesaan.
Menjawab isu pemanasan global dan tantangan krisis energi, sekelompok mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa – Riset Eksakta (PKM-RE) menghadirkan inovasi menjanjikan. Mereka meneliti potensi pelet biomassa dari limbah tanaman sebagai sumber energi alternatif bagi masyarakat desa hutan di Malang.
Tim yang diketuai Bangkit Utomo Putro dan dibimbing oleh Naresvara Nircela Pradipta, S.Hut., M.Sc., beranggotakan I Gusti Agung Ayu Ary Indah Febriani, Kevin Abimanyu Prakoso, Muhammad Nur Fajar, dan Nina Febriansari.
Riset mereka berjudul Eksplorasi Sifat Psiko-termal dan Flame Emission Spectrum Pelet Biomassa Spesies Fast Growing di Malang sebagai Energi Alternatif Masyarakat Desa Hutan kini telah mencapai 80 persen progres pengerjaan.
Penelitian ini berangkat dari dua persoalan utama. Secara global, ancaman pemanasan global akibat peningkatan gas rumah kaca (GRK), khususnya CO₂, menjadi perhatian serius. Pemerintah pun mengadopsi program mitigasi FOLU (Forestry and Other Land Use) NET SINK 2030 melalui Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Malang dengan melaksanakan penanaman tanaman fungsional sejak 2019 di 133 desa hutan wilayah Malang.
Namun di tingkat lokal, masyarakat desa hutan justru menghadapi persoalan baru: kelangkaan gas elpiji yang menjadi sumber energi utama rumah tangga. Melihat potensi sumber daya alam yang melimpah dari program penanaman tersebut, tim ini menemukan peluang solusi yang nyata.
“Kami melihat ada dua masalah yang saling berkaitan: krisis lingkungan secara global dan kelangkaan energi di tingkat desa. Melalui riset ini, kami ingin membuktikan bahwa limbah pangkasan dari tanaman fungsional seperti cabang dan ranting dapat menjadi solusi energi yang efektif sekaligus ramah lingkungan,” ujar Bangkit Utomo Putro, ketua tim, Senin (6/10/2025).
Inovasi ini memanfaatkan biomassa hasil pangkasan (prunning) seperti cabang, ranting, dan daun untuk diolah menjadi pelet bahan bakar. Meski demikian, tim menyadari tidak semua jenis tanaman menghasilkan emisi yang baik bagi kesehatan, sehingga diperlukan penelitian mendalam.
Hasil uji coba awal menunjukkan temuan signifikan. Pada parameter kadar air yang menentukan efektivitas pembakaran, pelet dari cabang alpukat memiliki kadar air tertinggi (27,33 persen). Kadar air tinggi dapat menurunkan panas yang dihasilkan.
Sebaliknya, pada parameter kadar abu yang mengindikasikan residu sisa pembakaran, pelet dari cabang kopi menunjukkan hasil terbaik dengan kadar abu hanya 3,2 persen.
Nilai ini menunjukkan residu paling rendah dan signifikan dibandingkan jenis lainnya, bahkan hampir menyamai kontrol. Temuan ini mengindikasikan bahwa pelet dari cabang kopi lebih bersih dan memiliki performa pembakaran lebih baik.
Melalui program ini, tim berharap dapat membantu masyarakat desa hutan mengurangi ketergantungan pada energi fosil sekaligus menekan emisi karbon berlebih. Mereka juga berharap dapat terus kompak untuk menghadirkan inovasi berikutnya yang bermanfaat bagi masyarakat. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments