Search
Menu
Mode Gelap

Menang Tanpa Harus Menghalalkan Segala Cara

Menang Tanpa Harus Menghalalkan Segala Cara
Ustaz Yasri, MHI. Foto: Tangkapan layar youtube
pwmu.co -

Inti perjalanan hidup seorang mukmin adalah kesabaran, konsistensi (istikamah), dan keteguhan mengikuti cara Allah. Bukan sekadar mengejar kemenangan jangka pendek. Penegasan ini disampaikan Ustaz Drs. HM. Yasri, MHI, mubaligh Muhammadiyah, saat menafsirkan Surah An-Nahl ayat 43.

“Banyak umat tergoda mengejar hasil instan dan kemenangan duniawi sehingga rela meninggalkan cara Allah. Padahal, yang dinilai Allah bukan berhasilnya, tetapi kesetiaan pada caranya Allah,” ujarnya sebagaimana dikutip dari kanal YouTube Masjid Baitul Muttaqien Keputih Surabaya.

Ustaz Yasri menegaskan bahwa dalam ayat-ayat sebelumnya Allah telah menjanjikan dua kebaikan (ikhda al-husnayain), yakni kemenangan di dunia atau kemenangan di akhirat yang nilainya jauh lebih besar dan lebih kekal.

Dia mencontohkan para sahabat pada masa Nabi yang harus berhijrah karena tidak mendapat jaminan keamanan dalam menjalankan iman. Mereka meninggalkan tanah kelahiran demi mempertahankan keyakinan.

Allah SWT kemudian menegaskan: “Lanu’awwiannahum fid-dunya hasanah” (Kami akan memberikan kebaikan kepada mereka di dunia).

Namun kebaikan dunia, kata Ustaz Yasri, bersifat terputus. Tidak ada kenikmatan dunia yang abadi. Berbeda dengan upah akhirat yang kekal: “Wa la ajrul akhirati akbar” (Dan sungguh, balasan akhirat itu lebih besar).

Karena itu, ukuran menang–kalah menurut Allah berbeda dari standar manusia. “Kalahnya seorang mukmin di dunia pun masih lebih besar nilainya dibanding menangnya orang yang meninggalkan aturan Allah,” tegasnya.

Ustaz Yasri menekankan bahwa sabar adalah kualitas terpenting dalam menjalani sistem Allah. Banyak orang mengira sabar hanya ketika tertimpa musibah. Padahal sabar berarti tetap setia pada aturan Allah saat gagal, tetap setia saat berhasil, dan tidak berganti-ganti cara hanya demi menang cepat.

Dia mengkritik kecenderungan sebagian umat yang hanya memakai cara yang “menguntungkan”, meski bertentangan dengan perintah agama.

“Kalau kita mengikuti standar sing penting menang, pasti tidak sabar. Pasti gonta-ganti cara, pasti tidak setia,” tambahnya.

“Kesabaran dan istikamah itulah yang mengokohkan seorang mukmin di bumi,” lanjut Ustaz Yasri.

Dalam menafsirkan lanjutan Surah An-Nahl, Ustaz Yasri menjelaskan bahwa para nabi sebelumnya juga manusia biasa yang memiliki keinginan dan kelemahan. Namun Allah menguatkan mereka dengan wahyu. Sebagaimana firman-Nya: “Wama arsalna min qoblika illa rijalan nuhi ilayhim.”

Bahkan Allah menegur Nabi Muhammad saw: “Walau la an tsabbatnaka laqad kitta tarkanu ilayhim syai’an qalila.” Artinya, jika bukan karena Allah mengokohkannya, beliau hampir saja condong kepada mereka.

Pesan pentingnya: bahkan Rasul pun hampir tergoda mencari jalan cepat, namun Allah-lah yang menguatkannya.

Menurut Ustaz Yasri, manusia mudah berubah oleh keadaan—saat menang, saat kalah, saat senang, atau saat sengsara. Karena itu Nabi berpesan: “Ittaqullaha haytsu ma kunta.” (Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada).”

“Artinya, jangan berubah mengikuti suasana. Tetaplah pada cara Allah dalam situasi apa pun,” ujarnya.

Mengulas ayat berikutnya, Ustaz Yasri menerangkan firman Allah: “Fas’alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamun.” (Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki peringatan apabila kamu tidak mengetahui).

Iklan Landscape UM SURABAYA

Yang dimaksud bukan hanya ulama, tetapi siapa saja yang hidupnya menjadi peringatan—baik melalui kegagalan maupun keberhasilan. Keduanya adalah ayat Allah yang mengingatkan manusia.

Dia merujuk Surah Ali Imran ayat 13 bahwa dua kelompok yang saling berhadapan—mukmin dan kafir—keduanya menjadi ibrah. Muslim melihat kekuatan musuh secara objektif, demikian pula musuh melihat kekuatan Muslim. Namun Allah yang menentukan keberanian dan ketakutan dalam hati manusia.

“Allah bisa menjatuhkan rasa takut ke dalam hati musuh-musuh Islam tanpa sebab fisik apa pun,” jelasnya.

Karena itu, kemenangan sejati bukan ditentukan oleh jumlah, dana, atau strategi, melainkan oleh pertolongan Allah.

Kitab Peringatan dan Kitab Kemanusiaan

Ustaz Yasri menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab peringatan (dzikr) dan juga kitab kemanusiaan (bayan). Wahyu diturunkan agar manusia berpikir, bukan sekadar mengikuti selera.

Manusia diberi akal, pendengaran, dan penglihatan agar dapat menerima peringatan, sehingga manusia diberi hukum—berbeda dari binatang yang tidak memiliki kesadaran moral.

Menurutnya, orang yang menolak Al-Qur’an pada hakikatnya menolak logika yang lurus, karena Al-Qur’an penuh argumentasi yang sehat.

Dia juga mengingatkan bahaya perilaku manusia modern yang gemar “mengakali” aturan Allah. Banyak orang memodifikasi larangan agar terlihat halal, atau mengakali perintah agar terasa ringan. Padahal mengubah standar Allah adalah sumber bencana jiwa, masyarakat, dan bumi.

Beliau menukil ayat ancaman: “Afa amina alladzina makarus-sayyi’at…?” (Apakah orang-orang yang merencanakan keburukan merasa aman…?). Konsekuensinya bisa berupa pembenaman bumi, azab dari arah tak terduga, hingga hilangnya rasa aman.

Karena itu, kata Ustaz Yasri, yang harus diwaspadai bukan hanya akibatnya, tetapi sebab-sebab yang menjerumuskan kepada murka Allah.

Ustaz juga mengajak jamaah kembali kepada Al-Qur’an sebagai satu-satunya pedoman yang tidak berubah.

Dia mengingatkan sabda Nabi: “Khairukum man ta’allamal Qur’ana wa ‘allamahu.” (Sebaik-baik kalian adalah yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an).

“Inilah seruan agar umat menjadikan Al-Qur’an sebagai fokus hidup, bukan sekadar motivasi sesaat,” pungkasnya. (*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments