Search
Menu
Mode Gelap

Mencintai Tanpa Merasa Paling Benar

Mencintai Tanpa Merasa Paling Benar
Ilustrasi foto: OpenAI
Oleh : Nashrul Mu'minin Content Writer Yogyakarta
pwmu.co -

Sebagai seorang laki-laki, kita sering dibesarkan dengan narasi bahwa cinta cukup dibuktikan dengan tanggung jawab dan keteguhan. Kita diajarkan kuat, rasional, dan tidak banyak bicara soal perasaan.

Namun, realitas relasi mengajarkan bahwa cinta tidak selalu sampai hanya karena niatnya baik. Cinta perlu dipahami bahasanya, terutama ketika berhadapan dengan perempuan yang memiliki cara unik dalam menerima dan merasakan kasih sayang.

Bahasa cinta atau love language adalah cara seseorang mengungkapkan dan menerima cinta. Konsep ini bukan sekadar teori populer, tetapi jembatan komunikasi emosional yang sangat menentukan kualitas hubungan.

Ada lima jenis utama bahasa cinta: Kata-kata Penegasan (Words of Affirmation), Waktu Berkualitas (Quality Time), Menerima Hadiah (Receiving Gifts), Tindakan Pelayanan (Acts of Service), dan Sentuhan Fisik (Physical Touch).

Memahami ini bukan berarti menghilangkan jati diri laki-laki, tetapi justru memperkaya kedewasaan kita dalam mencintai.

Bagi banyak perempuan, Kata-kata Penegasan bukan sekadar rayuan, tetapi pengakuan atas keberadaannya.

Kalimat sederhana seperti “aku bangga padamu” atau “terima kasih sudah berjuang hari ini” bisa menjadi energi emosional yang besar. Dalam Islam, lisan yang baik adalah cermin iman. Allah berfirman:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 83).

Ayat ini mengajarkan bahwa kebaikan verbal adalah fondasi relasi, termasuk dalam cinta.

Waktu Berkualitas juga sering disalahpahami. Bukan soal lama bersama, tetapi hadir sepenuh hati. Perempuan merasakan cinta ketika didengar tanpa disela, ditemani tanpa distraksi. Dalam konteks ini, kehadiran lebih bermakna daripada solusi.

Rasulullah saw sendiri dikenal sangat hadir saat berbincang dengan keluarganya, bahkan memalingkan tubuh sepenuhnya kepada lawan bicara sebagai bentuk penghormatan.

Menerima Hadiah sering dianggap materialistis, padahal sejatinya simbol perhatian. Hadiah kecil yang dipilih dengan niat dan makna bisa menjadi bahasa cinta yang dalam. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

تَهَادُوا تَحَابُّوا

“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Bukhari).

Hadis ini menegaskan bahwa hadiah adalah sarana memperkuat kasih, bukan ukuran kekayaan.

Tindakan Pelayanan adalah bahasa cinta yang sangat kontekstual. Membantu tanpa diminta, meringankan beban tanpa mengeluh, sering kali lebih bermakna daripada seribu kata.

Rasulullah saw memberi teladan nyata. Ketika ditanya tentang apa yang beliau lakukan di rumah, Aisyah ra. menjawab bahwa beliau membantu pekerjaan rumah tangga. Ini bukan soal merendahkan diri, tetapi memuliakan pasangan.

Sentuhan Fisik, dalam batas syariat, juga merupakan kebutuhan emosional. Genggaman tangan, pelukan yang menenangkan, atau sentuhan penuh kasih adalah bahasa cinta yang menumbuhkan rasa aman.

Rasulullah saw dikenal sebagai sosok yang lembut, bahkan kepada anak-anak dan keluarganya. Kelembutan bukan kelemahan, melainkan tanda kematangan jiwa.

Masalahnya, banyak laki-laki mencintai dengan bahasa yang ia pahami sendiri, bukan bahasa yang dipahami pasangannya.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Kita rajin bekerja (acts of service), tetapi lupa mengucap apresiasi (words of affirmation). Kita selalu ada secara fisik, tetapi tidak hadir secara emosional (quality time). Di sinilah cinta sering terasa timpang, bukan karena kurang cinta, tetapi karena salah bahasa.

Islam sesungguhnya sangat menekankan keadilan emosional. Allah berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut.” (QS. An-Nisa: 19).

Ma’ruf berarti sesuai kebutuhan, kondisi, dan kelayakan. Termasuk memahami bahasa cinta pasangan.

Belajar bahasa cinta perempuan tidak menuntut kita sempurna. Ia hanya meminta kerendahan hati untuk belajar. Pelan-pelan mendengar tanpa defensif, memahami tanpa meremehkan, dan berubah tanpa merasa kalah. Inilah jihad emosional yang sering luput dari pembahasan maskulinitas.

Perempuan tidak menuntut kita menjadi orang lain. Mereka hanya berharap kita mau hadir dengan cara yang mereka pahami.

Cinta bukan tentang siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling mau menyesuaikan diri tanpa kehilangan nilai.

Dalam hadis lain, Rasulullah saw bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.” (HR. At-Tirmidzi).

Ukuran kebaikan laki-laki dalam Islam tidak hanya di ruang publik, tetapi di ruang paling intim: relasi.

Bahasa cinta mengajarkan kita bahwa iman dan emosi tidak bertentangan. Justru iman yang hidup akan melahirkan cinta yang lembut, sadar, dan bertanggung jawab. Laki-laki beriman bukan yang paling keras, tetapi yang paling mampu mencintai dengan adab.

Ketika kita mulai bertanya, “Bahasa cinta apa yang ia butuhkan?” saat itulah ego mulai turun dan kedewasaan naik. Cinta tidak lagi menjadi arena pembuktian diri, melainkan ruang saling bertumbuh.

Pelan-pelan saja. Tidak semua harus langsung mahir. Bahkan usaha kecil yang konsisten sering lebih bermakna daripada perubahan besar yang sementara. Perempuan merasakan niat, bukan hanya hasil.

Pada akhirnya, mencintai perempuan dengan memahami bahasa cintanya adalah bentuk ibadah sosial. Ia menyentuh akhlak, empati, dan tanggung jawab.

Cinta seperti ini tidak hanya menguatkan hubungan, tetapi juga mendekatkan kita pada makna rahmah yang Allah janjikan dalam keluarga.

Karena cinta yang dewasa bukan tentang siapa yang paling keras bertahan, tetapi siapa yang paling lembut belajar.

Dan bagi laki-laki, belajar bahasa cinta perempuan adalah salah satu jalan paling jujur menuju kedewasaan, iman, dan kemanusiaan yang utuh. (*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments