“Buku adalah jendela dunia”. Meski merupakan ungkapan yang begitu populer, namun belum sepenuhnya membangunkan kita. Rendahnya daya minat baca — baik di kalangan siswa atau bahkan masyarakat luas — masih menjadi persoalan serius dalam dunia pendidikan kita.
Seperti laporan UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Data ini menunjukkan indeks literasi kita masih jauh dibawah negara-negara lain. Tentu saja fakta seperti ini tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Di era digital seperti saat ini, anak-anak tampak lebih akrab dengan gawai daripada membaca buku. Mata mereka bisa berjam-jam menatap layar digital sekadar bermain games atau menonton film. Sebaliknya, mereka rata-rata enggan meluangkan waktu sejenak untuk membaca buku.
Pada sebagian orang tua pun, literasi belum menjadi kebutuhan mendasar. Banyak keluarga yang mengutamakan pembelian telepon seluler (ponsel) untuk anak daripada membelikan buku.
Kondisi seperti ini tentu memberikan tantangan yang serius, yaitu: “bagaimana sekolah dapat menumbuhkan budaya membaca sekaligus membangkitkan kesadaran literasi di lingkungan sekitar?”
Saya melihat fenomena ini bukan sekadar hambatan, melainkan tantangan yang harus dijawab.
Institusi pendidikan (baca: sekolah/madrasah) jangan hanya fokus pada rutinitas pembelajaran. Perlu adanya rancangan program yang dapat mengubah pola pikir dan kebiasaan anak didik.
Sebagaimana yang saya cobakan di MIM 14 Prestisius, Ponorogo. Berawal dari keresahan, kini lahir yang namanya GESIMA (Gerakan Siswa Gemar Membaca). Gerakan ini mulai berjalan pada 1 September 2025 dan menyasar siswa kelas 4 – 6.
Mengapa memilih kelas 4 – 6? Karena pada usia tersebut, anak sudah memiliki kemampuan membaca yang lebih matang. Mereka juga siap mendapatkan tantangan dalam memahami isi bacaan.
Praktiknya cukup sederhana. Setiap siswa wajib meminjam satu buku dari perpustakaan madrasah pada setiap awal bulan.
Buku tersebut harus dibawa pulang dan dibaca secara bertahap. Untuk memantau progresnya, setiap siswa mendapatkan selembar kertas berisi 30 kolom. Setiap hari, mereka menuliskan tanggal dan halaman yang berhasil dibaca.
Saat akhir bulan, wali kelas memberi kesempatan pada setiap siswa untuk menceritakan kandungan buku yang sudah dibacanya di depan kelas.
Kegiatan semacam ini dapat menumbuhkan kebiasaan membaca dan melatih keterampilan berbicaranya. Selain itu juga dapat menumbuhkan keberanian tampil di depan kelas dan menguatkan daya ingat siswa.
Sebagai bentuk apresiasi, akan dipilih salah satu siswa dari setiap kelas dengan kategori mampu menceritakan dengan baik. Mereka akan mendapatkan hadiah.
Apresiasi memang penting, apalagi dalam rangka untuk menciptakan kebiasaan.
Jika membaca sudah menjadi kewajiban yang rutin untuk ditunaikan, maka berikutnya akan berkembang menjadi kebutuhan. Karena itu, kebiasaan ini harus tertanam kuat.
Mengapa program literasi seperti ini penting? Karena literasi bukan sekadar kemampuan teknis membaca huruf, melainkan keterampilan hidup yang sangat mendasar.
Anak yang gemar membaca akan memiliki kosakata yang kaya, daya pikir kritis, serta imajinasi yang luas. Ia lebih siap menghadapi tantangan zaman, lebih mudah menyerap ilmu pengetahuan, dan lebih kreatif dalam menyelesaikan masalah.
GESIMA hanyalah ikhtiar kecil, namun dengan keyakinan yang besar dampaknya pasti akan besar. Karena itu perlu berjalan secara konsisten.
Lembaga pendidikan kita memang tidak bisa sendirian dalam menjalankan kegiatan seperti ini. Dukungan orang tua siswa yang berupa pendampingan siswa pada saat di rumah sangat mendukung kesuksesan program ini.
Orang tua harus ikut mengawasi dan memberi dorongan agar anaknya benar-benar menjalankan kegiatan membaca buku, bukan sekadar mencatat perkembangannya di atas kertas.
Begitu pula lingkungan masyarakatnya, sangat perlu mendukung dan mendorong terciptanya atmosfer yang ramah terhadap literasi.
Membangun budaya literasi merupakan perjalanan tanpa henti. Kesuksesannya tidak bisa diraih dengan cepat. Karena itu harus konsisten menerapkannya secara bertahap hingga menjadi karakter.
Melalui GESIMA, kami ingin mencontohkan bahwa lembaga pendidikan merupakan tempat belajar akademik dan sekaligus ruang pembentukan kebiasaan baik yang akan berguna sepanjang hayat.
Mari bersama-sama kita jadikan membaca sebagai budaya. Sebab dengan membaca, anak-anak kita akan tumbuh lebih cerdas, lebih kritis, dan lebih berkarakter. Dan dari madrasah kecil ini, semoga lahir generasi religius, berprestasi, dan berbudaya literasi, yang kelak mampu mewarnai peradaban bangsa.***


0 Tanggapan
Empty Comments