Di dunia yang semakin terhubung digital, narasi-narasi mistis justru menemukan pasar barunya. Mulai dari cerita hantu di media sosial, tayangan ghost hunting, hingga ritual komunikasi dengan arwah leluhur yang dikemas modern.
Di tengah hiruk-pikuk ini, muncul pertanyaan mendasar: Benarkah arwah orang meninggal bisa gentayangan dan mengganggu kita? Bisakah kita berkomunikasi dengan mereka?
Sebagai Muslim yang hidup di era informasi, kita tidak boleh terjebak antara takut buta dan percaya membabi-buta.
Kita perlu peta navigasi yang jelas. Peta itu adalah Manhaj Tarjih Muhammadiyah, sebuah metodologi yang mengajak kita memahami agama dengan nalar kritis yang berpedoman pada dalil-dalil sahih.
Sebelum membahas “gentayangan”, kita perlu paham peta tempat tinggal arwah. Menurut perspektif Islam yang disarikan Majelis Tarjih, alam terbagi tiga:
1. Alam Dunia: Alam fisik tempat kita hidup sekarang, di mana jasad dan ruh bersatu.
2. Alam Barzakh: Alam pembatas (barzakh berarti dinding) antara dunia dan akhirat. Inilah “alam sementara” bagi arwah setelah kematian, sebelum hari kebangkitan. Di sini, arwah mengalami kehidupan khusus yang hakikatnya hanya Allah yang tahu.
3. Alam Akhirat: Alam abadi setelah kebangkitan, di mana jasad dan ruh disatukan kembali untuk mempertanggungjawabkan amal.
Kematian adalah pintu satu arah. Sangat jelas Allah tegaskan dalam Al-Qur’an:
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al-Mu’minun: 99-100)
Ayat ini memutus nostalgia: tidak ada kembali ke dunia. Arwah telah berpindah alam. Lalu, dari mana muncul cerita arwah berkeliling di rumah selama sebulan dan di makam setahun.
Narasi populer ini sering disandarkan pada sebuah teks yang diklaim sebagai hadis dari Abu Hurairah RA, yang menyebut arwah mukmin “berkeliling-keliling” mengawasi keluarga.
Majelis Tarjih tak serta-merta menolak atau menerima. Mereka melakukan investigasi ilmiah. Dengan menggunakan software database hadis canggih (al-Maktabah asy-Syamilah, al-Jami’ al-Akbar, al-Jami’ al-Kabir), mereka melacak jejak digital teks tersebut di ribuan kitab hadis induk.
Teks itu tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis primer seperti Shahih Bukhari, Muslim, atau lainnya. Artinya, klaim itu bukan hadis Nabi sasw Ia adalah informasi yang tak bersanad, lemah, atau bahkan mungkin palsu yang menyusup ke dalam percakapan agama.
Lalu, Siapa yang Gentayangan?
Jika bukan arwah manusia, lalu siapa yang sering “mengaku” sebagai arwah gentayangan atau penampakan?
Jawaban Tarjih berdasarkan ilmu yang sahih: Itu adalah tipu daya setan dari golongan jin.
إِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ
“Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.” (QS. Al-An’am: 121)
Jin, sebagai makhluk gaib, memiliki kemampuan untuk menipu indera kita. Mereka bisa menjelma (istila’) menyerupai wajah orang yang telah meninggal. Tujuannya? Menyebarkan kesyirikan (misalnya, dengan disembah), menanamkan ketakutan irasional, atau sekadar mengocok keimanan kita.
Jadi, yang “komunikasi” dengan dukun atau dalam ritual tertentu bukanlah arwah nenek moyang, melainkan jin penipu yang memanfaatkan kedukaan dan kerinduan kita.
Bagaimana dengan kehidupan di kubur dan komunikasi? Ini perlu dibedakan. Arwah memang hidup dalam kehidupan barzakh yang khusus. Syuhada dan para Nabi bahkan diberi kehidupan yang istimewa.
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati; sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Ali ‘Imran: 169)
Namun, “kehidupan” ini bukan kehidupan duniawi yang memungkinkan komunikasi dua arah dengan kita. Ada sebuah riwayat yang sering dikutip:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ
“Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah saw bersabda: “Para Nabi itu hidup di dalam kubur mereka dalam keadaan salat.” (HR. Al-Baihaqi)
Setelah diteliti sanadnya oleh Tarjih, hadis ini memiliki perawi yang dinilai bermasalah (Hasan bin Qutaibah dan Husain bin ‘Arafah), sehingga kualitasnya lemah (dha’if).
Meski maknanya tentang kehidupan khusus di barzakh bisa diterima, kita tidak boleh membangun keyakinan detail dan amalan (seperti meminta tolong pada mereka) di atas dalil yang lemah.
Lalu, bagaimana menyikapi fenomena “gangguan” dan menjaga ketenangan?
1. Amunisi Utama: Iman, Takwa, dan Zikir.
Perlindungan terbaik bukan jimat atau ritual aneh, tetapi ketakwaan. Allah janjikan ketenangan hati bagi yang berzikir.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Perbanyak membaca Al-Qur’an, shalat tepat waktu, dan wirid-wirid yang diajarkan Nabi.
2. Nalar Sehat di Atas Rasa Takut.
Saat mendengar atau melihat hal aneh, tanya: “Ini dalil sahihnya apa?” Jangan langsung percaya cerita turun-temurun atau video viral. Gunakan prinsip tabayyun (klarifikasi) seperti yang diajarkan Manhaj Tarjih.
3. Doa untuk Arwah, Bukan Komunikasi.
Hubungan kita dengan yang telah wafat adalah hubungan doa. Kirimkan pahala bacaan Qur’an, sedekah, dan haji untuk mereka. Itulah “komunikasi” terbaik yang diajarkan Islam, penuh manfaat dan bebas dari tipu daya setan.
4. Tolak Bisnis Mistik.
Jauhi praktik perdukunan, tukang ramal, atau ritual “pemanggilan arwah”. Itu adalah pintu syirik dan eksploitasi kesedihan. Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa mendatangi peramal lalu menanyakan sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh malam.” (HR. Muslim).
Agama Islam datang untuk membebaskan manusia dari ketakutan terhadap yang tak diketahui, bukan membiakkan hantu-hantu baru. Dengan memahami peta alam barzakh berdasarkan dalil sahih, kita tidak perlu takut pada “arwah gentayangan”.
Yang perlu kita takuti hanya Allah. Yang perlu kita jaga adalah iman dan ketakwaan. Dan yang perlu kita sebarkan adalah ilmu yang jelas, bukan cerita-cerita mistis yang justru mengaburkan akidah.
Di era hoaks gaib yang merajalela, berpegang pada Manhaj Tarjih ibarat memiliki GPS di hutan belantara: ia menuntun kita pada jalan yang lurus, berdasarkan pijakan yang kuat, menuju ketenangan hati yang sejati. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments