Sejarah bangsa ini banyak menyimpan kisah pencerahan dari tokoh-tokoh besar.
Kisah-kisah yang tidak hanya berkaitan dengan berjuang bersenjata melawan kolonial, tetapi juga tentang gagasan-gagasan besar mereka.
Salah satu tokoh itu adalah Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Melalui jalan pendidikan, beliau berusaha membebaskan bangsanya dari keterbelakangan.
Langkah-langkah pembaruan yang beliau lakukan pada seabad lebih yang lalu, hingga kini masih sangat relevan menjadi inspirasi di tengah tantangan zaman modern saat ini.
Kiai Dahlan meyakini bahwa pendidikan merupakan ujung tombak perubahan. Beliau tidak sekadar mendirikan sekolah, tetapi juga mengadopsi metode pengajaran modern.
Berdasarkan pengalaman sebagai pengajar di sekolah Belanda, Kiai Dahlan mengadopsi sistem yang rapi dan terstruktur ke dalam sekolah Muhammadiyah.
Berbeda dengan proses belajar mengajar ala tradisional pada saat itu, Kiai Dahlan penggunaan meja kursi dan papan tulis untuk belajar di dalam kelas.
Adopsi ini menjadi terobosan yang signifikan, karena menempatkan siswa dan guru dalam lingkungan yang kondusif untuk belajar, menyerupai sekolah-sekolah modern yang ada di Eropa.
Enam pelajaran dari Kiai Dahlan
Pertama, Kiai Dahlan memberi teladan tentang seorang pemimpin yang harus peka membaca realitas sosial.
Pada masa itu (masa kolonial), pendidikan hanya bisa dinikmati kalangan terbatas. Sedang rakyat pribumi tetap berada dalam kebodohan.
Kiai Dahlan tidak hanya mengkritik, tetapi juga bertindak nyata dengan mendirikan sekolah yang terbuka bagi semua kalangan. Dari langkah ini, kita belajar bahwa pendidikan sejatinya adalah alat pembebasan.
Dalam konteks masa kini, kepekaan membaca realitas sangat penting.
Masyarakat kita menghadapi tantangan baru, seperti: kesenjangan digital, kemiskinan dalam lingkaran, serta degradasi moral akibat arus informasi yang tak terbendung.
Adopsi ala Kiai Dahlan mengajarkan bahwa solusi terbaik adalah bertindak nyata melalui program- program pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, bukan sekadar memperbincangkannya di ruang seminar.
Kedua, Kiai Dahlan menolak adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum.
Pada saat sebagian orang hanya berfokus pada kajian fikih, beliau justru memasukkan pelajaran matematika, ilmu pengetahuan alam, bahkan bahasa asing ke dalam kurikulum sekolah Muhammadiyah.
Ini menjadi langkah revolusioner, dengan menyejajarkan umat Islam dengan masyarakat modern tanpa kehilangan akarnya.
Di era sekarang, tantangan serupa muncul dalam bentuk perdebatan tentang pendidikan karakter versus pendidikan teknologi.
Semangat Kiai Dahlan menegaskan bahwa keduanya tidak perlu dipertentangkan.
Literasi digital, kecerdasan buatan, dan sains modern tetap harus berjalan seiring dengan pendidikan moral dan spiritual.
Sebab, tanpa fondasi etika, ilmu modern justru berpotensi melahirkan generasi pintar tetapi kehilangan arah.
Ketiga, pelajaran berharga tentang cara Kiai Dahlan saat memulai perjuangannya.
Sekolah Muhammadiyah pertama kali muncul dari ruang yang kecil nan sederhana. Beliau tidak merasa perlu menunggu adanya fasilitas megah atau dukungan penuh dari pihak berkuasa.
Visi yang kuat mampu mengubah langkah kecil menjadi gerakan besar. Di era kini, inovasi pendidikan seringkali terhambat alasan keterbatasan dana atau fasilitas.
Padahal, di era digital, ruang kecil itu bisa berupa kelas daring, kanal edukasi di media sosial, atau komunitas belajar mandiri. Kuncinya adalah konsistensi dan visi jangka panjang.
Seperti Kiai Dahlan, kita harus berani memulai dari apa yang ada, sambil terus menumbuhkan semangat perubahan.
Keempat, Kiai Dahlan memberi teladan saat cara menghadapi resistensi.
Tidak sedikit pihak yang menentang langkahnya, terutama kelompok tradisionalis yang menganggap pembaruan itu dapat mengancam adat dan tradisi.
Namun, beliau tidak melawan dengan kekerasan atau retorika keras.
Sebaliknya, Beliau memilih jalan dialog, diskusi, dan memberikan dalil yang mencerahkan.
Di sinilah mempertegas watak kebijaksanaan dari seorang pembaru.
Di era sekarang, kita kerap menemukan perbedaan sudut pandang dalam dunia pendidikan, baik terkait kurikulum, metode, maupun arah kebijakan.
Menghadapi kondisi tersebut, kita dapat belajar dari Kiai Dahlan untuk membuka ruang dialog, menghormati pendapat berbeda, serta tetap konsisten dengan prinsip yang diyakini.
Kelima, orientasi pendidikan ala Kiai Dahlan bukan sekadar mencetak lulusan pintar akademis, tetapi juga menjawab problem nyata masyarakat.
Pendidikan Muhammadiyah hadir untuk melawan kebodohan, kemiskinan, dan masalah kesehatan, yang merupakan bentuk pemberdayaan sosial berkelanjutan.
Dalam konteks modern, sistem pendidikan tidak seharusnya hanya berfokus pada angka kelulusan dan nilai ujian.
Lebih dari itu, pendidikan harus mendorong lahirnya generasi yang peduli lingkungan, mampu menciptakan solusi untuk persoalan sosial, dan berani berkontribusi bagi bangsa.
Dengan demikian, pendidikan benar-benar menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar formalitas.
Keenam, Kiai Dahlan mengajarkan pentingnya integritas dan keberanian moral.
Meski mendapat tekanan dari pemerintah kolonial maupun kelompok tradisional yang menentangnya, ia tidak goyah.
Integritas inilah yang membuat gerakannya bertahan dan berkembang hingga kini.
Di era modern, godaan pragmatisme kerap menggoda para pengambil kebijakan pendidikan.
Ada yang tergoda mengutamakan proyek jangka pendek, bahkan tidak jarang terjebak dalam praktik korupsi.
Oleh karena itu, spirit Kiai Dahlan mengingatkan bahwa tanpa integritas, visi sebesar apa pun akan runtuh.
Pendidikan harus dipandu oleh keberanian moral untuk selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan.
Pendek kata, di tengah arus globalisasi, disrupsi teknologi, dan problem sosial yang kian kompleks, spirit pencerahan itu tetap relevan.
Pendidikan bukan hanya transfer ilmu, melainkan gerakan moral untuk membebaskan manusia dari kebodohan, ketidakadilan, dan keterbelakangan.
Kiai Haji Ahmad Dahlan telah menorehkan jejak; kini giliran kita untuk menapakinya sesuai dengan zaman.***


0 Tanggapan
Empty Comments