Bencana tidak pernah lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh perlahan, dipelihara oleh pengabaian, dan pada akhirnya meledak ketika alam mencapai batas toleransinya.
Banjir, rob, abrasi, dan longsor yang terus berulang hari ini bukan sekadar cerita tentang cuaca ekstrem, melainkan cermin dari cara kita memperlakukan ruang dan waktu.
Dalam konteks inilah mitigasi bencana seharusnya dipahami —bukan sebagai prosedur teknis, melainkan sebagai kebijaksanaan pembangunan.
Mitigasi bukan soal menahan air semata, tetapi tentang memberi ruang bagi alam untuk bekerja.
Ketika ruang itu terambil secara berlebihan —oleh beton, reklamasi, dan ambisi jangka pendek— maka bencana tinggal menunggu momentum.
Sejarah menunjukkan bahwa peradaban yang bertahan lama selalu lahir dari kemampuan membaca risiko alam.
Bangsa-bangsa yang hidup di delta, muara, dan pesisir tidak sekadar membangun di atas air, tetapi membangun bersama air.
Mereka memahami bahwa tidak mungkin bisa mengalahkan air, tetapi bisa mengelolanya.
Sayangnya, dalam pembangunan modern, mitigasi sering tereduksi menjadi formalitas.
Ia hadir dalam laporan, tetapi hilang dalam keputusan.
Ketika harus membuat pilihan antara kehati-hatian ekologis dan percepatan ekonomi, mitigasi sering kalah.
Padahal, di situlah akar masalahnya: pembangunan tanpa mitigasi pada akhirnya adalah pembangunan yang rapuh.
Rotterdam: kota pelabuhan yang belajar dari air
Rotterdam adalah contoh klasik bagaimana mitigasi menjadi fondasi pembangunan, bukan penghambatnya.
Kota ini tumbuh di delta Sungai Rhine–Meuse, wilayah yang secara alami rawan banjir dan berada di bawah permukaan laut.
Alih-alih menghindari air, Belanda menjadikannya sebagai bagian dari sistem kota.
Sejak abad ke-17 hingga ke-19, Rotterdam berkembang sebagai pelabuhan dunia dengan prinsip utama: air harus diarahkan, bukan ditolak.
Kanal-kanal dirancang untuk mengatur aliran, tanggul dibangun dengan perhitungan jangka panjang, dan ruang limpasan disiapkan sebagai bagian dari tata kota.
Puncaknya, pada abad ke-20, Belanda membangun sistem Delta Works —bukan sebagai reaksi sesaat, melainkan kelanjutan dari tradisi mitigasi berabad-abad.
Yang menarik, Rotterdam tidak hanya selamat dari bencana, tetapi justru tumbuh menjadi salah satu pelabuhan tersibuk di dunia.
Mitigasi tidak menghambat ekonomi; ia menjadi syarat mutlak bagi ekonomi itu sendiri.
Pendekatan serupa —meski dalam konteks dan teknologi berbeda— pernah diterapkan di Indonesia pada masa kolonial.
Salah satu contoh paling signifikan adalah pengembangan Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya pada akhir abad ke-19.
Saat itu, tantangan utama Surabaya adalah sedimentasi berat di muara sungai.
Alur pelayaran dangkal, kapal besar sulit masuk, dan aktivitas perdagangan terhambat.
Masalah ini bukan semata teknis pelabuhan, tetapi persoalan sistem sungai dan pesisir secara keseluruhan.
Solusi yang ditempuh tidak instan. Pemerintah kolonial memahami bahwa sedimentasi tidak bisa diselesaikan hanya dengan pengerukan rutin.
Yang dibutuhkan adalah rekayasa sistemik pada sumber masalahnya.
Rekayasa Bengawan Solo: mitigasi yang berpikir jauh
Salah satu langkah paling strategis adalah rekayasa Sungai Bengawan Solo di wilayah Ujung Pangkah.
Sungai terpanjang di Jawa ini membawa sedimen besar dari wilayah hulu. Aliran lamanya berkelok-kelok dan mempercepat pengendapan di muara, mengancam fungsi pelabuhan.
Solusinya radikal untuk zamannya: meluruskan alur Bengawan Solo hingga sekitar 23 kilometer menuju laut.
Rekayasa ini bukan sekadar proyek hidraulik, melainkan kebijakan mitigasi jangka panjang.
Dengan alur yang lebih lurus dan pendek, kecepatan aliran meningkat, sedimen terdorong langsung ke laut lepas, dan pengendapan di muara berkurang secara alami.
Hasilnya signifikan. Sedimentasi di kawasan pelabuhan menurun, alur pelayaran lebih stabil, dan Tanjung Perak berkembang menjadi pelabuhan utama di Indonesia bagian timur.
Rekayasa ini juga memicu bangkitan ekonomi kawasan: perdagangan meningkat, industri tumbuh, dan Surabaya menguat sebagai simpul logistik nasional.
Selain itu, kawasan Ujung Pangkah menjadi kawasan pertanian dan industri budidaya perikanan yang subur, dan hingga kini berhasil menjadi penyumbang terbesar komoditas budidaya perikanan di Indonesia.
Yang patut dicatat, semua itu dilakukan dengan logika mitigasi: mengendalikan risiko alam untuk memastikan keberlanjutan ekonomi.
Ironisnya, pelajaran sejarah itu justru sering dilupakan hari ini.
Sempadan sungai yang dulu dijaga ketat kini menjadi kawasan kompromi.
Muara sungai yang dulu dipahami sebagai sistem dinamis kini diperlakukan sebagai lahan kosong yang siap dibangun.
Padahal, sempadan sungai adalah “ruang aman” yang memungkinkan sungai berfungsi tanpa merusak.
Muara adalah katup alami yang mengatur interaksi sungai dan laut.
Ketika dua ruang ini dikorbankan, risiko tidak hilang —ia hanya berpindah dan membesar.
Banjir di kota-kota besar, rob di kawasan pesisir, dan pendangkalan pelabuhan adalah gejala dari satu masalah yang sama: mitigasi yang ditinggalkan.
Pesisir dan pulau buatan: ujian terbesar mitigasi modern
Hari ini, tantangan mitigasi semakin kompleks dengan maraknya pembangunan pulau buatan dan reklamasi pesisir.
Berbeda dengan pelabuhan abad ke-19, proyek-proyek ini sering didorong oleh logika kecepatan dan keuntungan jangka pendek.
Pulau buatan dibangun dengan asumsi teknologi mampu menaklukkan alam.
Namun pengalaman Rotterdam dan Tanjung Perak menunjukkan sebaliknya: teknologi hanya efektif jika digunakan untuk menyesuaikan diri dengan alam, bukan melawannya.
Tanpa pemahaman arus laut, sedimentasi, dan kenaikan muka air laut, pulau buatan berpotensi menciptakan kerentanan baru.
Ia mungkin aman bagi penghuninya, tetapi memperparah abrasi dan rob di kawasan sekitarnya.
Di titik ini, mitigasi diuji secara etis: apakah pembangunan aman hanya untuk satu kawasan, atau juga adil bagi wilayah lain?
Dari teknik ke kebijaksanaan
Baik Rotterdam maupun Tanjung Perak mengajarkan satu hal penting: mitigasi selalu berpikir lintas generasi.
Rekayasa Bengawan Solo tidak dirancang untuk lima tahun, tetapi untuk puluhan tahun ke depan.
Kanal-kanal Rotterdam dibangun dengan kesadaran bahwa air akan selalu datang.
Sebaliknya, pembangunan yang mengabaikan mitigasi adalah pembangunan yang memindahkan beban ke masa depan.
Generasi berikutnya mewarisi kota rawan banjir, pesisir tergerus, dan biaya pemulihan yang terus membengkak.
Mitigasi bencana pada akhirnya bukan soal teknologi canggih, tetapi soal kebijaksanaan mengambil keputusan.
Apakah kita bersedia belajar dari sejarah? Apakah kita mau menahan ambisi sesaat demi keberlanjutan jangka panjang?
Sejarah Rotterdam dan Tanjung Perak menunjukkan bahwa mitigasi bukan penghambat kemajuan.
Justru sebaliknya, ia adalah prasyarat kemajuan yang bertahan lama. Ketika mitigasi terabaikan, pembangunan kehilangan arah, dan bencana tinggal menunggu waktu.
Pada akhirnya, persoalan mitigasi bukan soal kurangnya teknologi atau pengetahuan, melainkan kegagalan kita memaknai ruang sebagai tempat hidup, bukan sekadar objek eksploitasi.
Kita membangun dengan keyakinan bahwa alam akan selalu menyesuaikan diri, padahal yang terjadi justru sebaliknya: kitalah yang terus dipaksa menanggung akibat dari ruang yang kita rusak sendiri.
Ketika sungai, muara, dan pesisir diperlakukan sebagai lahan bebas nilai, maka bencana bukan lagi peristiwa luar biasa, melainkan konsekuensi logis. Di sanalah mitigasi kehilangan maknanya.***


0 Tanggapan
Empty Comments