Pembangunan di Indonesia seolah terus berlari tanpa menengok ke belakang.
Pembukaan jalan-jalan baru, perumahan dan kawasan industri menjalar ke segala arah, dan lahan produktif berubah cepat menjadi zona komersial. Semua tampak seperti tanda kemajuan.
Namun, di balik fasad modernitas itu, ada jejak panjang kerusakan ekologis yang tidak pernah benar-benar dihitung.
Pada dasarnya, alam dan manusia terikat dalam satu tarikan napas: melukai alam berarti mengiris sistem kehidupan yang menopang keberadaan kita sendiri.
Ketika satu elemen rusak, elemen lain akan menanggung akibatnya.
Konversi lahan produktif menjadi permukiman dan kawasan industri yang masif selama dua dekade terakhir membuktikan tesis bahwa pembangunan yang mengabaikan daya dukung ekologis hanyalah jalan pintas menuju bencana.
Berbagai penelitian tentang perubahan tata guna lahan memperlihatkan pola serupa.
Studi Schirpke (2023) menunjukkan bahwa perubahan peruntukan lahan memperlemah fungsi ekologis dan mengurangi peran ekosistem sebagai fondasi kehidupan manusia.
Dari kajian Yang et al. (2024), jelas terlihat bahwa ketika lingkungan hidup diperlakukan sebagai komoditas pembangunan, ekosistem menjadi korban pertama dan masyarakat menjadi korban berikutnya.
Dalam konteks Indonesia, Lestari dan Martanto mencatat bahwa konversi lahan pertanian berdampak langsung pada ketahanan pangan, kesejahteraan petani, serta peningkatan risiko banjir, kekeringan, dan erosi. Ilmu pengetahuan dan data ilmiah sudah gamblang.
Namun, mengapa praktik di lapangan tidak berubah?
Jawabannya kembali pada masalah klise yang tak kunjung selesai: moral hazard di tingkat kekuasaan.
Ketika perizinan lahan lebih dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi jangka pendek, hubungan patronase, atau transaksi politik, tata ruang kehilangan peran sebagai instrumen penjaga keberlanjutan lingkungan.
Pada titik ini, ruang hidup tidak lagi dipandang sebagai ekosistem yang wajib dijaga, melainkan peluang ekonomi bagi segelintir elite.
Proyek-proyek pembangunan, yang seharusnya melalui kajian lingkungan secara transparan, sering kali justru diputuskan dalam ‘ruang gelap’ yang mengabaikan partisipasi masyarakat terdampak.
Kritik ekologis mengungkap bahwa bencana bukan sekadar gejala alam, tetapi implikasi struktural dari kekuasaan yang memilih melindungi akumulasi modal ekonomi ketimbang masa depan ekologis masyarakatnya.
Distorsi Kebijakan Publik dalam Pengelolaan Ekologi
Konversi lahan produktif di banyak daerah semakin menunjukkan peran besar elite kekuasaan lokal dalam menentukan arah pembangunan.
Sidoarjo, Bekasi, Karawang, hingga kawasan pesisir Jawa Timur yang kini dikepung permukiman baru, adalah contoh nyata bagaimana tekanan pembangunan menggeser batas-batas ekologis.
Di atas kertas, rencana tata ruang mengamanatkan perlindungan sawah produktif dan kawasan resapan air.
Namun, ketika investasi datang, garis-garis tersebut menjadi lentur. Perubahan peruntukan lahan bisa terjadi hanya dengan tanda tangan pejabat.
Padahal, penelitian T. Hailu (2024) memperlihatkan bahwa permukiman yang dibangun tanpa perencanaan matang, terutama yang menabrak kawasan resapan, menyebabkan penurunan drastis kapasitas ekosistem dalam menahan banjir dan menjaga kualitas air tanah.
Dalam konteks Indonesia, temuan ini menjelaskan mengapa banjir di Jabodetabek maupun wilayah delta di Jawa menjadi semakin rutin, meluas, dan sulit dikendalikan.
Lebih jauh, konversi lahan produktif juga menyingkirkan petani dari ruang hidupnya.
Hilangnya mata pencaharian, meningkatnya ketimpangan, serta pudarnya pengetahuan lokal tentang pengelolaan tanah adalah dampak sosial yang jarang diperhitungkan.
Padahal, sebagaimana ditunjukkan penelitian Patel et al. (2025), hilangnya keseimbangan sosial-ekologis akan selalu berujung pada kerentanan baru: masyarakat menjadi tidak resilien, tidak mampu beradaptasi, dan tidak siap menghadapi bencana.
Hal-hal ini sejatinya dapat dicegah jika pemerintah berpegang pada prinsip tata kelola (governance) yang transparan dan berbasis sains.
Namun, ketika kepentingan ekonomi elite tertentu mengalahkan nalar ekologis, kerusakan lingkungan menjadi sebuah keniscayaan yang terencana. Inilah bentuk moral hazard yang paling berbahaya: bukan sekadar korupsi uang, tetapi korupsi terhadap masa depan ekologis masyarakat.
Politik Pembangunan yang Membuka Pintu Bencana
Indonesia tidak kekurangan bukti bahwa kerusakan ekologis berbanding lurus dengan meningkatnya risiko bencana.
Banjir besar yang berulang setiap tahun, kekeringan di wilayah pertanian, krisis air bersih, tanah longsor, abrasi pesisir, hingga pencemaran udara adalah rentetan bencana ekologis yang sebenarnya dapat dicegah.
Namun, negara tampak hanya hadir ketika bencana sudah terjadi, bukan ketika akar masalah—alih fungsi lahan, deforestasi, dan pelanggaran tata ruang—masih bisa dihentikan.
Sejarah bencana kita panjang dan menyakitkan. Lumpur Panas Lapindo di Sidoarjo memperlihatkan bagaimana kombinasi kelalaian industri, lemahnya pengawasan negara, dan tarik-menarik kepentingan politik melahirkan tragedi yang dampaknya terasa hingga kini.
Di Aceh dan Sumatera, banjir bandang dan longsor berulang akibat kehilangan tutupan hutan.
Di Jawa, jutaan orang kini tinggal di wilayah rawan banjir yang dikelilingi beton dan aspal penutup resapan air.
Ironisnya, kebijakan pembangunan justru terus berjalan ke arah yang sama, seolah pengalaman pahit masa lalu bukan pelajaran, melainkan catatan pinggir yang boleh diabaikan.
Jika pola ini tidak berubah, proyeksi ke depan jauh lebih mengkhawatirkan.
Studi perubahan lahan jangka panjang oleh Rahmonov et al. (2024) menunjukkan bahwa degradasi ekologis biasanya bersifat kumulatif: berawal dari kerusakan kecil yang tidak dihentikan akan tumbuh menjadi kerusakan besar yang tak bisa dipulihkan.
Pada titik itu, bencana bukan hanya kemungkinan, tetapi kepastian. Dalam konteks Indonesia —salah satu negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia— mengabaikan ekologi sama saja dengan membuka pintu bagi krisis kemanusiaan di masa depan.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan filosofis yang mendasar: sejauh mana negara mau terus mengabaikan batas moral dalam mengelola ekologi?
Sampai kapan perizinan lahan diberikan demi kepentingan ekonomi jangka pendek?
Sampai kapan keputusan tata ruang dapat dibeli oleh kepentingan tertentu?
Ketika pemerintah gagal menjalankan mandat ekologisnya, pasti masyarakatlah yang menanggung akibatnya: kehilangan rumah, sumber penghidupan, dan ruang hidup yang aman.
Pembangunan yang tidak memperhitungkan daya dukung ekologis bukan sekadar kesalahan kebijakan. Kebijakan demikian menunjukkan bagaimana masa depan generasi berikutnya dipertaruhkan demi kalkulasi politik jangka pendek. Aparat negara yang membiarkan, bahkan mempercepat, kerusakan ruang hidup demi keuntungan pribadi atau kelompok bukan sekadar salah secara administratif. Mereka melakukan tindakan yang berdampak langsung pada meningkatnya risiko bencana, kemiskinan, dan penderitaan publik.
Karena itu, kesadaran ekologis tidak boleh lagi menjadi wacana pinggiran. Kesadaran ekologis harus menjadi fondasi pembangunan.
Pemerintah perlu menjalankan tata kelola berbasis sains, memperketat izin pembangunan, menghentikan konversi lahan produktif, serta mengembalikan fungsi ekologis kawasan yang telah rusak.
Masyarakat sipil dan akademisi juga harus memperkuat peran pengawasan agar pembangunan tidak lagi menjadi ladang moral hazard.
Tanpa perubahan mendasar ini, kita bukan hanya sedang kehilangan lahan produktif atau resapan air, melainkan kehilangan masa depan.
Ekologi yang dikorbankan hari ini akan kembali kepada kita dalam bentuk bencana yang lebih besar, lebih mahal, dan lebih menyakitkan.
Dan pada saat itu, penyesalan tidak akan mampu mengembalikan apa yang telah hilang.***


0 Tanggapan
Empty Comments