Search
Menu
Mode Gelap

Muhammadiyah di Tengah Dominasi Rumah Sakit Swasta

Muhammadiyah di Tengah Dominasi Rumah Sakit Swasta
Foto ilustrasi: OpenAI
Oleh : Agus Wahyudi Pemimpin Redaksi PWMU.CO
pwmu.co -

Beberapa hari lalu, saya berkunjung ke Rumah Potong Hewan (RPH) Surabaya. Lokasinya di Jalan Pegirian. Tempat ini bukan lokasi baru. RPH Surabaya merupakan badan usaha milik daerah (BUMD) Pemerintah Kota Surabaya. Hingga kini, RPH Surabaya masih menjalankan peran strategis dalam penyediaan jasa pemotongan hewan dan distribusi daging.

RPH Surabaya berdiri sejak 1927, pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Saat itu namanya Abattoir atau Slach Plaats dan dikelola oleh Gementee Soerabaia. Setelah Indonesia merdeka, namanya beberapa kali berubah mengikuti dinamika pemerintahan.

Pada 1948, pengelolaannya berada di bawah Gedegeer Recomba Karasidenan Soerabaia. Kemudian pada 1955, RPH berada di bawah Pemerintah Kota Besar Surabaya dengan nama Pembantaian. Pada 1969, pengelolaannya berada di Kota Praja Surabaya, hingga akhirnya pada 1982 ditetapkan sebagai Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan melalui peraturan daerah.

Di sana, saya bertemu dengan Fajar Arifianto Isnugrogo, Direktur Utama RPH Surabaya saat ini. Kawan lama semasa masih aktif sebagai wartawan. Latar belakang Fajar cukup unik. Dia tidak lahir dari dunia teknis peternakan atau birokrasi semata. Pendidikan jurnalistik membentuk cara berpikirnya, sebelum kemudian aktif di dunia penyiaran sebagai anggota KPID dan KPI Pusat.

Dalam perbincangan yang panjang dan hangat, Fajar mengungkapkan bahwa RPH Surabaya saat ini menjadi pemasok daging bagi sejumlah rumah sakit besar di Surabaya. Informasi ini menarik, karena menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap standar layanan dan kualitas produk RPH.

Fajar kemudian menceritakan pengalamannya bertemu dengan salah seorang pimpinan rumah sakit swasta ternama. Rumah sakit tersebut tidak hanya besar di Surabaya, tetapi juga memiliki jaringan di berbagai kota di Indonesia.

Dalam pertemuan itu, sang pimpinan menyampaikan bahwa pihaknya masih merasa beruntung karena hingga saat ini belum ada rumah sakit milik Muhammadiyah yang benar-benar besar dan sangat maju.

Pernyataan itu dapat dibaca dari dua sisi. Di satu sisi, ia merupakan pengakuan atas potensi besar Muhammadiyah di bidang layanan kesehatan. Di sisi lain, ia mencerminkan kekhawatiran akan perubahan peta persaingan jika potensi itu benar-benar dimaksimalkan.

Muhammadiyah selama ini dikenal memiliki jaringan rumah sakit yang luas, tetapi belum semuanya tampil sebagai institusi raksasa yang terintegrasi, modern, dan berdaya saing tinggi secara nasional.

Percakapan tersebut menjadi semakin relevan ketika diletakkan dalam konteks Jawa Timur hari ini. Provinsi ini memiliki infrastruktur layanan kesehatan yang sangat besar.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat sekitar 360 rumah sakit tersebar di seluruh Jawa Timur.

Sebagian besar di antaranya merupakan rumah sakit swasta. Angka ini bahkan bisa lebih tinggi jika merujuk pada sumber lain yang menyebut jumlahnya menembus 400 unit.

Surabaya berada di posisi paling menonjol. Kota ini memiliki 47 rumah sakit—terbanyak di Jawa Timur—dan mayoritas dikelola oleh swasta.

Muhammadiyah sendiri emiliki 38 rumah sakit dan 52 klinik Muhammadiyah–Aisyiyah yang tersebar dari ujung timur Banyuwangi hingga ujung barat Pacitan. Mereka melayani lebih dari 3 juta pasien setiap tahun.

***

Fakta ini menunjukkan satu hal yang sulit dibantah: layanan kesehatan di Jawa Timur, khususnya Surabaya, didominasi oleh sektor non-negara. Peran swasta bukan sekadar pelengkap, melainkan tulang punggung.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Kecenderungan ini sejalan dengan gambaran nasional. Data Databoks dan Katadata dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen rumah sakit di Indonesia dimiliki oleh swasta. Jawa Timur tidak berada di luar arus besar ini.

Dominasi tersebut membawa dua implikasi sekaligus. Di satu sisi, kondisi ini memperlihatkan kapasitas swasta dalam berinvestasi, berinovasi, dan menjawab kebutuhan masyarakat.

Di sisi lain, dominasi tersebut menimbulkan pertanyaan penting tentang posisi organisasi masyarakat besar seperti Muhammadiyah, yang sejak lama dikenal memiliki komitmen kuat di bidang kesehatan.

Muhammadiyah bukan pemain baru. Jaringannya luas. Amal usahanya tersebar di banyak daerah. Namun, di tengah lanskap Jawa Timur yang padat dengan rumah sakit swasta besar dan modern, kehadiran rumah sakit Muhammadiyah berskala raksasa masih relatif terbatas.

Ada banyak rumah sakit. Ada layanan yang berjalan baik. Namun, hanya sedikit yang tampil sebagai pusat rujukan utama dengan daya saing regional atau nasional.

Di titik inilah pernyataan pimpinan rumah sakit swasta yang diceritakan Fajar berasa tajam. Bukan sebagai sindiran, melainkan sebagai cermin. Bahwa potensi besar belum sepenuhnya berubah menjadi kekuatan dominan. Bahwa jaringan luas belum selalu berarti pengaruh strategis.

Persaingan layanan kesehatan hari ini tidak lagi sekadar soal jumlah tempat tidur atau luas bangunan. Ia menyangkut integrasi layanan, profesionalisme manajemen, kualitas sumber daya manusia, dan kepercayaan publik.

Dalam arena seperti ini, sejarah panjang dan nilai-nilai ideal tidak cukup jika tidak disertai langkah transformasi yang berani.

Pelajaran itu terasa kontekstual bagi Muhammadiyah, sekaligus bagi pengelola layanan publik lainnya. Di Jawa Timur yang padat rumah sakit swasta, ruang untuk tampil unggul masih terbuka. Namun, dibutuhkan keberanian untuk melompat dari sekadar hadir menjadi benar-benar memimpin.

Data menunjukkan bahwa medan persaingan sudah penuh. Namun data yang sama juga menegaskan bahwa kebutuhan masyarakat terus tumbuh.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang paling banyak memiliki rumah sakit, melainkan siapa yang paling siap menjawab masa depan layanan kesehatan dengan mutu, integritas, dan keberpihakan pada kemanusiaan.

Di situlah esensi tantangannya. Dan di situlah sejarah, visi, serta kepemimpinan diuji.

Wallahualam bishawab.(*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments