Bermazhab bukan berarti membatasi diri pada satu aliran fikih. Bagi Muhammadiyah, semua imam mazhab adalah guru, dan kebenaran hanya milik Allah.
Demikian disampaikan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Prof. Dr. Achmad Zuhdi Dh, M.Fillsaat mengisi Pengajian Ahad Pagi di Pasar Tanggaran, Kecamatan Pule, Trenggalek, Ahad (5/10/2025)
Ustaz Zuhdi, begitu panggilan karibnya, menjelaskan, Muhammadiyah tidak anti mazhab, tetapi menghargai dan meneladani seluruh mazhab dalam Islam. “Menjadi Muslim yang baik bukan berarti harus bermazhab tertentu. Yang penting adalah mempelajari Al-Qur’an dan hadis, serta berusaha mengamalkan keduanya dengan sebaik-baiknya,” ujarnya di hadapan jamaah.
Muhammadiyah, kata Ustaz Zuhdi, tidak berafiliasi kepada mazhab tertentu, tetapi meneladani pemikiran para imam besar, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hambali, dengan sikap ilmiah dan terbuka.
“Semua imam itu guru kita,” tegas Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampe (UINSA) Surabaya ini.
Dia lalu mencontohkan bagaimana Muhammadiyah sering kali sejalan dengan pandangan berbagai mazhab. Misalnya, dengan mazhab Hanafi, Muhammadiyah sepakat bahwa bersentuhan dengan istri tidak membatalkan wudu, zakat fitrah boleh dengan uang, dan tidak perlu qunut pada salat Subuh.
Dengan mazhab Maliki, Muhammadiyah sejalan dalam pandangan bahwa umrah cukup sekali dalam seumur hidup, karena Imam Malik memakruhkan umrah yang dilakukan berulang kali dalam waktu dekat.
Adapun dalam hal azan dua kali pada masa Khalifah Utsman bin Affan, Muhammadiyah memandang tidak masalah, sebab Nabi Muhammad saw memerintahkan untuk taat kepada beliau dan Khulafaur Rasyidin.
Sementara itu, Muhammadiyah juga sejalan dengan mazhab Syafi’i dalam hal azan Jumat sekali, serta berzikir dengan suara pelan setelah salat. Sedangkan dengan mazhab Hambali, Muhammadiyah berpendapat tidak perlu qunut subuh, kecuali dalam konteks qunut nazilah atau keadaan tertentu.
“Namun jika kita salat bersama jamaah yang qunut, sebaiknya ikut qunut. Itu bagian dari sikap menghormati sesama,” tutur Ustaz Zuhdi menekankan nilai toleransi dalam ibadah.
Ustaz Zuhdi lalu menceritakan kisah indah tentang toleransi dan penghormatan antarulama. Cerita itu terjadi saat perjalanan haji pada masa lalu yang dilakukan menggunakan kapal laut.
Dalam satu kapal, terdapat dua tokoh besar Islam Indonesia: KH. Idham Chalid, Ketua Umum PBNU terlama sekaligus mantan Wakil Perdana Menteri, dan Buya Hamka, tokoh besar Muhammadiyah.
Keduanya bergantian menjadi imam salat Subuh. Ketika KH. Idham Chalid menjadi imam, jamaah mengira beliau akan membaca qunut, namun ternyata tidak. Setelah salat, jamaah bertanya, “Kok tidak qunut, Kyai?”
Dengan tenang Idham Chalid menjawab, “Di antara kita ada tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka. Kita menghargai beliau, maka kita tidak qunut.”
Sebaliknya, ketika Buya Hamka menjadi imam di hari berikutnya, jamaah mengira beliau tidak akan qunut.
Namun ternyata beliau membaca qunut. Setelah salat, beliau menjelaskan, “Saya menghormati jamaah yang di antaranya ada KH. Idham Chalid.”
“Dua tokoh besar itu memberi teladan indah tentang saling menghormati dalam perbedaan. Inilah esensi Islam, ukhuwah dan penghargaan terhadap sesama,” terang ujar Ustaz Zuhdi.
Warisan Intelektual Muhammadiyah
Ustaz Zuhdi kemudian menguraikan tentang lahirnya Majelis Tarjih Muhammadiyah, lembaga yang menjadi fondasi ilmiah dan keagamaan bagi seluruh keputusan fikih dan akidah Muhammadiyah.
Pada tahun 1920-an, muncul kegelisahan di tengah umat Islam karena fenomena munculnya nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad. Muhammadiyah kemudian membentuk wadah musyawarah ulama untuk membahas berbagai masalah keagamaan.
Dalam Kongres ke-16 Muhammadiyah di Pekalongan tahun 1927, disepakati pendirian Majelis Tarjih. Tujuannya ada dua:
Menghimpun para ulama Muhammadiyah agar dapat bermusyawarah dalam menetapkan hukum-hukum Islam.
Membahas berbagai persoalan baru dalam masyarakat, baik dalam bidang ibadah, fikih, maupun teologi.
Ketua pertama Majelis Tarjih adalah KH. Mas Mansur dari Surabaya, seorang ulama besar yang kelak menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Setelahnya, kepemimpinan Majelis Tarjih diteruskan oleh KH. Wardan Diponingrat, ulama yang juga mendapat kepercayaan dari Sultan Yogyakarta untuk membacakan silsilah Nabi Muhammad SAW dalam perayaan Maulid Nabi di Keraton.
“Ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah menghargai tradisi,” kata Ustaz Zuhdi.
Bahkan, menurutnya, pada tahun 1921, majalah Suara Muhammadiyah sudah menerbitkan tulisan tentang riwayat Nabi Muhammad saw dalam edisi khusus tanggal 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan hari kelahiran Nabi. Lebih dari lima ribu eksemplar terbit waktu itu.
“Jadi, jauh sebelum ada perdebatan soal Maulid, Muhammadiyah sudah memuliakan kelahiran Nabi dengan cara yang mendidik,” jelasnya.
Ustaz Zuhdi menegaskan, tradisi seperti Maulid Nabi, Halal Bihalal, dan pengajian termasuk ranah muamalah, bukan ibadah mahdhah. Artinya, boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. “Apakah salah karena tidak dilakukan Nabi? Tidak. Yang penting, isinya baik dan tidak bertentangan dengan syariat,” ujarnya.
Dia juga menyinggung semboyan “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah” yang dibawa oleh KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Semboyan ini muncul karena pengaruh kuat dari gerakan pembaharuan Islam di Makkah, yang dipelopori oleh Syekh Jamaluddin al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh, dan Syekh Rasyid Ridha.
Gerakan tersebut mendorong umat Islam untuk kembali kepada semangat Islam yang murni dan rasional, setelah melihat kondisi dunia Islam yang mengalami kemunduran.
“KH. Ahmad Dahlan membawa semangat itu ke Indonesia. Beliau ingin umat Islam kembali pada sumber ajaran utama: Al-Qur’an dan Sunnah, tanpa menafikan peran ulama mazhab,” tutup Ustaz Zuhdi. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments