Search
Menu
Mode Gelap

Nahari Achyar, Guru Musik yang Menyalakan Irama di Mudipat

Nahari Achyar, Guru Musik yang Menyalakan Irama di Mudipat
Nahari Achyar. Foto: Dok/Pri
pwmu.co -

Jadi EO Dadakan

Tahun 1991, Nahari masuk Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya. Di masa ini, pergaulannya semakin luas. Dia bertemu banyak musisi. Banyak karakter. Banyak warna.

Genre musik mereka beragam. Ada yang keroncong. Ada yang pop. Ada yang dangdut, bosanova, jazz, bahkan fusion. Dunia Nahari seperti dibuka lebar. Ia belajar banyak hal. Ia menyerap banyak gaya.

Nahari juga mulai sering tampil di berbagai kampus di Surabaya. Dari panggung kecil antar fakultas hingga acara besar lintas universitas. Namanya pelan-pelan mulai dikenal. Sosoknya mudah dikenali: gitar di tangan, senyum di bibir, dan aura panggung yang kuat.

Suatu hari, ada pihak yang melaporkan kegiatannya kepada Lubis Arsyad, Dekan Fakultas Ekonomi saat itu. Nahari pun dipanggil khusus. Doa sempat tegang. Mengira akan ditegur. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

“Tolong kamu buat pentas seni di sini (Kampus, red),” kata Lubis Arsyad kepadanya. Saat itu, Kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya masih di Pucang, belum pindah ke Sutorejo.

Nahari terdiam. Lalu mengangguk. Tugas itu datang tiba-tiba. Namun dia menerimanya dengan mantap. Pentas seni itu akhirnya menjadi sejarah Fakultas Ekonomi menggelar acara seni penuh oleh mahasiswa sendiri. Dan Nahari berdiri di balik layar sebagai motor kreatifnya.

Sejak itu, pentas seni menjadi kegiatan periodik. Dan Nahari sering menjadi “event organizer (EO)” dadakan. Mendadak diminta menata acara. Mendadak diminta membuat konsep. Banyak alat musik tidak tersedia. Banyak pemain yang belum siap. Tetapi dia jalan terus.

Nahari Achyar, Guru Musik yang Menyalakan Irama di Mudipat

Melatih Kreativitas di Era Digital

Kini, tantangan baru muncul. Zaman berubah cepat. Teknologi melaju. Artificial intelligence (AI) semakin canggih. Banyak proses menjadi instan. Karya bisa muncul dalam sekali klik.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Namun Nahari punya pendirian. “Di dalam AI tetap butuh kreativitas,” tegasnya.

Mesin, kata dia, mungkin bisa meniru gaya. Namun tidak dapat menggantikan pemahaman dasar. Tidak bisa menggantikan telinga yang terlatih. Tidak bisa menggantikan kepekaan manusia yang benar-benar memahami nada.

Karena itu Nahari selalu menekankan pentingnya teori: pentingnya notasi, pentingnya memahami struktur musik.

“Banyak yang mainnya hebat, “tapi ketika berhadapan dengan partiture not, mereka seperti enggan,” ungkapnya

Nahari ingin mengubah itu. Dia ingin melahirkan musisi yang bukan instan. Dia ingin anak-anak yang dia ajar benar-benar mengerti musik. Dari dasar, dari akar, dari not-not kecil yang tersusun menjadi melodi.

Tak heran jika ia kemudian dijuluki “penemu matematika musik.” Julukan itu lahir dari ketelitiannya mengolah nada, dari cara ia menyusun lagu dengan ketepatan seperti rumus, dan dari keyakinannya bahwa musik dan logika dapat berjalan berdampingan.

Nahari Achyar bukan sekadar guru atau pencipta lagu. Dia adalah penanam biji-biji musik yang perlahan tumbuh menjadi karakter, keberanian, dan keceriaan anak-anak. Lagu-lagunya hidup di kelas, di panggung, dan di hati murid-muridnya.

Di kelas musiknya, anak-anak tidak hanya bernyanyi. Mereka membaca not balok, memahami ritme, dan mempraktikkan teknik dasar.

“Empat puluh sampai lima puluh persen dari jumlah keseluruhan siswa bisa membaca not, itu sudah sangat hebat,” ujarnya.

Karena baginya, musik bukan hanya soal rasa, tetapi juga ilmu.
Dan Nahari ingin murid-muridnya mampu keduanya: bermain dengan hati, tapi memahami dengan kepala. (*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments