Search
Menu
Mode Gelap

Paradigma Baru Hubungan Fiskal Pusat dan Daerah

Paradigma Baru Hubungan Fiskal Pusat dan Daerah
Oleh : Dr. Umaimah, S.E., M.Ak., CSRS Ketua Pusat Studi & Inovasi Universitas Muhammadiyah Gresik
pwmu.co -

Di tengah dinamika hubungan fiskal antara pusat dan daerah, kebijakan Menteri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa yang menurunkan nilai Transfer ke Daerah (TKD) menimbulkan banyak perdebatan.

Sebagian kepala daerah menganggap langkah ini mengancam stabilitas keuangan dan pelayanan publik.

Namun, jika dicermati lebih mendalam, kebijakan tersebut justru bisa menjadi momentum reformasi fiskal daerah.

Kebijakan untuk menurunkan TKD memiliki pesan moral yang kuat; kebijakan ini tidak sedang memutus aliran dukungan, melainkan mendorong daerah untuk menemukan nafasnya sendiri dalam mengelola pembangunan.

Di balik kebijakan yang tampak ketat, terselip optimisme: bahwa kemandirian sejati hanya lahir dari keberanian untuk mengelola sumber daya sendiri, dengan integritas dan inovasi.

Dasar hukum kebijakan ini jelas, merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2023 tentang Pengelolaan TKD.

Kedua regulasi tersebut mengamanatkan agar sistem fiskal Indonesia bergerak ke arah transparansi, akuntabilitas, dan hasil pembangunan yang nyata.

Tujuan kebijakan tersebut tidak sekadar tentang menyalurkan dana, tetapi untuk menumbuhkan kemandirian fiskal dan memperkuat kapasitas pemerintah daerah agar tidak terus bergantung pada pusat.

Sudah lebih dari dua dekade desentralisasi fiskal berjalan, namun banyak daerah masih bergantung pada TKD sebagai sumber utama pembiayaan.

Akibatnya, ketika dana dari pusat berkurang, program pembangunan seringkali terhambat.

Padahal, inilah saatnya daerah membuktikan diri. Penurunan TKD bukan ancaman, melainkan tantangan untuk berinovasi.

Daerah perlu memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui digitalisasi pajak, optimalisasi aset, dan kerjasama publik-swasta di bidang infrastruktur.

Langkah lain yang tidak kalah penting adalah menerapkan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting).

Selama ini, penyerapan anggaran daerah sering kali tidak menghasilkan dampak pembangunan yang signifikan.

Oleh karena itu, kriteria keberhasilan ke depan bukan lagi berdasarkan “berapa  jumlah dana yang dihabiskan?”, melainkan berdasarkan “berapa manfaat nyata yang dirasakan oleh masyarakat?”

Penurunan TKD bukan ancaman, melainkan momentum reformasi fiskal daerah

Digitalisasi tata kelola keuangan seperti e-budgeting, e-tax, dan e-parking perlu percepatan.

Selain mampu menekan kebocoran, sistem ini juga mampu meningkatkan efisiensi dan memperkuat kepercayaan publik.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Di era digital, transparansi bukan pilihan melainkan keharusan.

Penurunan TKD tentu bisa menimbulkan risiko baru, yaitu: kesenjangan fiskal antar daerah.

Pada wilayah dengan PAD yang besar tentu akan lebih siap. Sedangkan pada daerah tertinggal punya potensi untuk semakin tertinggal.

Karena itu, sinkronisasi kebijakan pusat daerah tetap menjadi sesuatu yang sangat penting agar prinsip keadilan fiskal tidak pudar.

Pada sisi lain, daerah juga tidak boleh terus-menerus bersandar pada bantuan pusat.

Kemandirian fiskal tidak hanya terkait dengan urusan dana, tetapi juga terkait dengan perubahan pola pikir.

Pemerintah daerah perlu untuk mengembangkan kewirausahaan publik (public entrepreneurship), menjadi pelaku inovasi sosial dan ekonomi yang tangguh, bukan sekadar pengelola anggaran.

Apalagi kemandirian fiskal juga sejalan dengan arah pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs).

Dengan keuangan yang sehat dan inovatif, daerah dapat mengembangkan sektor unggulan hijau, antara lain: energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan pariwisata berbasis komunitas.

Demikianlah, desentralisasi sejati bukan diukur dari seberapa besar transfer dana, melainkan dari kemampuan daerah berdiri di atas kaki sendiri.

UU No. 1 Tahun 2022 dan PP No. 37 Tahun 2023 memberi ruang luas bagi daerah untuk berinovasi. Kini saatnya ruang itu benar-benar dimanfaatkan.

Penurunan TKD seharusnya jangan direspons dengan keluhan, melainkan dengan semangat baru.

Daerah yang adaptif, transparan, dan inovatif akan tumbuh menjadi entitas fiskal yang kuat.

Kemandirian fiskal bukan sekadar cita-cita administratif, tetapi fondasi bagi pembangunan nasional yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Inilah saatnya pemerintah daerah menatap ke depan dengan mental pemenang: bukan menunggu bantuan, melainkan menciptakan peluang.

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments