Search
Menu
Mode Gelap

Pejabat, Fasilitas, dan Kritik

Pejabat, Fasilitas, dan Kritik
M. Anwar Djaelani, Foto: Dok/Pri
Oleh : M. Anwar Djaelani, Penulis 14 Buku
pwmu.co -

Dua kisah indah berikut terjadi sekitar 14 abad lalu. Saat itu, Umar bin Khattab ra menjadi khalifah. Kisah-kisah ini sangat menarik. Pertama, tentang bagaimana seyogianya sikap seorang pejabat saat negara mengalami kondisi ekonomi yang lesu. Kedua, terkait bagaimana respons yang seharusnya jika pejabat menerima kritik.

Minyak Apa

Saat menjadi khalifah, Umar bin Khaththab ra dan masyarakatnya pernah mengalami musim kemarau yang panjang. Ekonomi dari mayoritas warga dalam kondisi tidak baik. Semua prihatin.

Atas situasi itu, Umar ra memutuskan dirinya untuk tidak makan minyak samin. Umar ra lalu menggantinya dengan minyak zaitun (yang waktu itu harganya lebih murah). Itu dilakukan Umar ra karena yang dikonsumsi kebanyakan warga adalah minyak zaitun.

Ada akibat atas keputusan Umar ra mengganti konsumsi minyak samin ke minyak zaitun. Terlihat, badan Umar ra menjadi lemah. Air mukanya menjadi kecut.  Atas fakta Umar ra terlampau banyak makan minyak zaitun sebagai pengganti minyak samin, para sahabat punya inisiatif.

Mereka mendesak supaya dia mempergunakan uang dari Baitul Mal sekadar untuk membeli minyak samin bagi khalifah.  Atas usul itu, Umar ra menolak. Dia tetap bertahan dengan sikapnya. Dia akan terus seperti itu sampai keadaan normal kembali.

”Bagaimana aku akan dapat memperhatikan kepentingan rakyat apabila aku tidak merasakan derita yang mereka rasakan,” demikian kata Khalifah Umar bin Khaththab ra.

Atas fragmen di atas, berkata Mohammad Natsir, bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra merasakan apa yang warga masyarakat rasakan. Itulah jembatan rasa, yang dibangun oleh mawaddah fil-qurba. Itulah sinar qalbu yang menembus tabir antara pemimpin dan umat yang mengikutinya (Fiqhud Da’wah, 1983: 229).

Penjelasan Terbuka

Suatu hari, Umar bin Khaththab Ra berpidato di hadapan kaum Muslimin. Dia memakai baju yang tampak pas bagi badannya, yang tinggi dan besar. Melihat hal itu, sikap kritis dari salah seorang sahabat muncul.

Dia berpikir. Pertama, dia ingat bahwa kala itu baru saja ada pembagian bahan baju kepada seluruh warga masyarakat. Semua mendapat bahan dan ukuran yang sama.

Kedua, dia heran, dengan ukuran bahan baju yang diterima mustahil Umar ra yang berbadan tinggi dan besar bisa menjahitnya dengan sempurna seperti yang dilihatnya sekarang. Dia punya kalkulasi, pasti ada kain tambahan. Dari mana itu?

“Kami tidak akan mendengarkanmu, wahai Umar, sebelum engkau menjelaskan tentang bajumu itu. Dari mana engkau mendapatkannya? Hal ini, karena kami tahu pembagian kain dari Baitul Mal hanya satu helai per orang, sementara tubuhmu tinggi dan besar. Mustahil bajumu itu berasal dari satu helai kain saja,” kata si sahabat itu.

Tentu, orang yang mengritisi itu punya dasar berpikir. Dia khawatir ada ketidakadilan dalam praktik pembagian bahan baju. Dia khawatir Umar ra mengambil lebih dari haknya.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Mendengar ucapan (lebih tepat: kritik) itu, Umar ra tidak marah. Umar Ra tidak menganggapnya sebagai penghinaan. Hal yang dia rasakan, dia perlu segera memberikan penjelasan apa adanya.

Umar ra lalu memanggil putranya, Abdullah bin Umar ra. Dimintanya sang putra untuk menjelaskan tentang hal yang menjadi sebab munculnya pertanyaan dari salah seorang sahabat itu.

Abdullah bin Umar ra pun menjelaskan bahwa atas kondisi bahan baju yang pasti tidak cukup jika dibuat untuk Umar Ra sang ayah. Maka, Abdullah ra mengalah. Bahan baju yang menjadi bagiannya, diberikan kepada sang ayah. Dari dua bahan itulah, baju untuk Umar ra dibuat. Lalu, ketika dipakai, menimbulkan tanda tanya bagi salah seorang sahabat.

Setelah jelas bahwa tidak ada penyimpangan dalam pembagian bahan baju, berkatalah sahabat yang tadi mengritisi itu: “Sekarang kami akan mendengar dan taat kepadamu, wahai Amirul Mukminin.”

Tampak, di fragmen di atas, respons Umar ra yang sangat indah. Sebagai khalifah (pemimpin), dia membuka ruang kritik. Dia berkenan diuji di depan umum. Dia respons dengan baik masyarakat yang mempertanyakan performanya (dalam artian luas).

Perhatikan, Umar ra pada kesempatan pertama segera memberi penjelasan secara terbuka atas pertanyaan yang masuk. Dengan adanya keterangan yang jujur, akan hilang prasangka. Sebaliknya, akan tetap terjaga kepercayaan kepadanya.

Jembatan Rasa

Seperti yang telah disebut Mohammad Natsir di atas, para pemimpin hendaknya memiliki jembatan rasa yang dibangun oleh mawaddah fil-qurba. Itulah sinar qalbu yang menembus tabir antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya.

Di negeri ini, mana jembatan rasa itu? Cermatilah berbagai fasilitas yang diterima para ”wakil rakyat”. Lihatlah, di sela-sela sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2025, sebagian wakil rakyat berjoget. Tindakan mereka tidak tepat, karena masyarakat luas sedang mengalami kondisi ekonomi yang tidak bersahabat.

Di negeri ini, mana jembatan rasa itu? Perhatikanlah, bagaimana respons seorang anggota DPR atas kritik kepada keberadaan lembaganya? Dari lisannya, malah keluar serangkaian kata yang tidak patut.

Mari menunduk, bercerminlah kepada Umar bin Khaththab Ra. Pertama, fasilitas bagi pejabat atur seperlunya. Jangan berlebihan. Jika tidak benar-benar mendesak, maka sungguh mulia jika fasilitas itu tak digunakan. Kedua, kritik itu sesuatu yang niscaya. Responslah dengan baik. (*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments