Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah (PTMA) di Tanah Papua tampil sebagai contoh nyata praktik pendidikan inklusif di Indonesia.
Meski bernaung di bawah organisasi Islam, kampus-kampus Muhammadiyah di Papua justru diisi oleh mayoritas mahasiswa non-Muslim dan tetap menjunjung tinggi kebebasan beragama.
Fakta tersebut disampaikan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Bidang Pendidikan, Olahraga, Seni, dan Budaya Irwan Akib, saat memberikan sambutan pada acara Wisuda Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGo), Senin (23/12/2025).
Irwan menegaskan bahwa inklusivitas bukan sekadar jargon, melainkan telah menjadi paradigma yang benar-benar dipraktikkan Muhammadiyah, khususnya di wilayah dengan kemajemukan tinggi seperti Papua.
Saat ini, Muhammadiyah telah mengelola lima perguruan tinggi di Tanah Papua, yakni, Universitas Muhammadiyah Sorong, Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong, Universitas Muhammadiyah Papua, Universitas Muhammadiyah Papua Barat, dan Universitas Muhammadiyah Teluk Bintuni.
Menariknya, komposisi mahasiswa di kampus-kampus tersebut didominasi oleh mahasiswa non-Muslim.
“Rata-rata mahasiswanya sekitar 60 hingga 80 persen adalah non-Islam,” ungkap Irwan seperti dilansir di laman resmi PP Muhammadiyah.
Menurutnya, angka tersebut menjadi bukti bahwa kehadiran Muhammadiyah diterima luas oleh masyarakat Papua lintas agama dan latar belakang budaya.
Irwan menekankan bahwa meskipun Muhammadiyah adalah organisasi Islam, tidak pernah ada upaya untuk menggiring mahasiswa non-Muslim agar memeluk agama Islam. Justru sebaliknya, setiap mahasiswa diberikan ruang untuk menguatkan keimanan sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
“Kalau bicara kemantapan keimanan, justru semakin kuliah di kampus Muhammadiyah, semakin mantap keimanannya sesuai dengan agama yang dianut. Tidak lalu kemudian digiring-giring,” tegasnya.
Dia menjelaskan, Muhammadiyah memandang bahwa hidayah adalah hak prerogatif Allah SWT. Tugas Muhammadiyah sebatas mengenalkan Islam dengan cara yang beradab dan berakhlak, bukan memaksa.
“Kalau ada yang kemudian tertarik dan memilih masuk Islam, itu keputusan personal, bukan karena paksaan atau tekanan,” tambahnya.
Lebih jauh, Irwan menyebut bahwa paradigma inklusif Muhammadiyah tidak hanya diterapkan dalam bidang pendidikan, tetapi juga dalam kerja-kerja kemanusiaan. Dalam setiap aksi sosial dan penanggulangan bencana, Muhammadiyah selalu hadir untuk semua golongan tanpa membedakan identitas.
“Dalam situasi bencana, bantuan Muhammadiyah itu untuk semua, bukan hanya untuk warga Muhammadiyah,” ujarnya.
Ia mencontohkan berbagai aksi kemanusiaan Muhammadiyah di Aceh, Sumatra Utara, hingga Sumatra Barat. Dalam setiap respons bencana, Muhammadiyah bergerak cepat dan memberikan layanan tanpa menanyakan latar belakang agama, suku, atau ras penerima bantuan.
“Muhammadiyah bergerak cepat. Dan ketika memberikan pelayanan, tidak pernah ditanya dulu agamamu apa, sukunya apa. Semua dilayani dengan baik tanpa membedakan suku, agama, dan ras,” tegas Irwan.
Menurut Irwan, praktik inklusivitas tersebut merupakan wujud nyata dari nilai Islam Berkemajuan yang menjadi spirit gerakan Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Pendidikan dan kemanusiaan dipandang sebagai jalan dakwah yang menjunjung tinggi martabat manusia.
“Kehadiran Muhammadiyah adalah untuk mencerahkan dan menyejahterakan semua, tanpa kecuali,” pungkasnya.
Dengan praktik pendidikan yang terbuka, menghormati keberagaman, serta mengedepankan nilai kemanusiaan, kampus-kampus Muhammadiyah di Tanah Papua kini tak hanya menjadi pusat akademik, tetapi juga simbol harmoni di tengah masyarakat majemuk Indonesia. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments