
Oleh: Ahmad Fikri
PWMU.CO – Silaturahmi memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat. Berikut kisah para pendahulu Muhammadiyah yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga tali silaturahmi dengan baik meskipun terjadi perbedaan pandangan yakni Perseteruan Buya Hamka dan KH Farid Ma’ruf.
Dalam Anekdot Tokoh-tokoh Muhammadiyah, Nur Cholis Huda menceritakan perbedaan pandangan antara Buya Hamka dan KH Farid Ma’ruf yang terjadi pada tahun 1960. Perbedaan ini bermula dari pengangkatan Moelyadi Djoyomartono sebagai Menteri Sosial oleh Presiden Soekarno.
Dalam hal ini, KH Farid Ma’ruf mendukung pengangkatan tersebut sebagai peluang bagi Muhammadiyah, sedangkan Buya Hamka menentangnya karena menganggapnya sebagai bentuk ketundukan pada rezim Orde Lama.
Perbedaan ini memicu ketegangan di kalangan warga Muhammadiyah, yang semakin memuncak setelah Buya Hamka menulis artikel berjudul Maka Pecahlah Muhammadiyah dalam harian Abadi. Ia membagi Pimpinan Muhammadiyah menjadi dua kubu yakni golongan istana (yang dekat dengan pemerintah) dan golongan luar istana (yang menentang kedekatan dengan pemerintah). Pengaruh tulisan Buya Hamka sangat besar karena ia dikenal sebagai ulama dan sastrawan terkemuka, sementara Abadi merupakan salah satu media berpengaruh pada masa itu.
Ketegangan mencapai puncaknya dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta. Para peserta menantikan perdebatan sengit antara kedua tokoh tersebut. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Buya Hamka naik ke mimbar dan dengan penuh haru, ia meminta maaf kepada KH Farid Ma’ruf jika tulisannya telah menyinggung perasaannya.
Sebagai tanggapan, KH Farid Ma’ruf juga meminta maaf dan menjelaskan alasannya mendukung Moelyadi. Momen hangat ini berhasil mengubah suasana dan memulihkan persatuan warga Muhammadiyah yang sempat terpecah.
Demikian sepenggal kisah yang mencerminkan bagaimana seorang Muslim seharusnya selalu berusaha menjaga tali silaturahmi dengan sesama. Perbedaan pandangan di antara mereka ternyata tidak menjadi penghalang untuk tetap menjalin hubungan yang harmonis.
Perseteruan dan permusuhan, seberat apa pun, sebaiknya segera didamaikan melalui sikap saling memaafkan dan kedewasaan, agar tali silaturahmi tidak terputus sia-sia. Allah SWT sendiri telah memerintahkan dalam al-Quran agar hamba-Nya memilih jalan damai dalam setiap perselisihan, sehingga terjalin hubungan silaturahmi yang harmonis.
Silaturahmi dalam Al-Quran
Al-Quran mengajarkan pentingnya menjaga hubungan baik dan mendamaikan perselisihan. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 10, Allah berfirman:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Menurut Tafsir Al-Azhar, jika seseorang benar-benar beriman, ia tidak akan bermusuhan. Permusuhan yang terjadi di antara mereka biasanya disebabkan oleh kesalahpahaman. Oleh karena itu, Allah menekankan pentingnya mendamaikan mereka dengan niat yang tulus karena-Nya, agar rahmat-Nya turun kepada mereka yang berusaha menjaga persaudaraan.
Islam juga mengajarkan bahwa perpecahan hanya akan melemahkan umat. Oleh karena itu, memaafkan, membuang rasa dendam, dan menjaga hubungan baik adalah bagian dari ajaran Islam yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak Negatif Memutus Silaturahmi
Sebuah pepatah mengatakan, “Jika dua orang berseteru dan makan di meja yang sama, semewah apapun hidangan yang tersedia, mereka tidak akan menikmatinya.” Ini menggambarkan betapa buruknya hubungan yang retak akibat perselisihan.
Bayangkan jika Buya Hamka dan KH Farid Ma’ruf tidak saling memaafkan. Perseteruan mereka mungkin akan terus berlanjut, menyebabkan perpecahan yang lebih dalam bagi Muhammadiyah, bahkan berisiko membuat organisasi yang telah dirintis sejak 1912 itu melemah atau bahkan bubar.
Memutus silaturahmi tidak hanya berdampak pada individu yang berseteru, tetapi juga pada lingkungan sekitar. Perpecahan di organisasi, komunitas, atau bahkan keluarga bisa merugikan banyak pihak. Sebaliknya, menyambung tali silaturahmi membawa banyak manfaat, seperti mempererat persaudaraan, menciptakan kebahagiaan, dan memperkuat organisasi atau komunitas.
Menurut hemat penulis, jika ada satu keuntungan dari memutus silaturahmi, maka ada seribu satu keuntungan dan manfaat yang diperoleh ketika menyambung tali silaturahmi. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan sesama, mengutamakan kepentingan bersama, dan meneladani sikap para pendahulu kita dalam menghadapi perbedaan dengan bijaksana.
Mari manfaatkan momen Lebaran tahun ini dengan lebih bermakna, saling memaafkan, dan mempererat kembali tali silaturahmi dengan sesama. Taqobbalallahu minna wa minkum taqobbal ya karim, minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin. (*)
Editor Ni’matul Faizah


0 Tanggapan
Empty Comments