
PWMU.CO – Pesawat Saudia Airlines yang membawa sekitar 200 petugas haji itu mendarat di Jeddah sekira pukul satu dini hari Waktu Arab Saudi (WAS). Jarak waktu antara Saudi dan Indonesia adalah 4 jam. Berarti saat itu sekitar pukul 5 pagi di Tanah Air.
Pada umumnya perjalanan udara lintas negara, hal-hal yang akan diikuti tidak berbeda jauh: garbarata untuk keluar dari pesawat, lintasan panjang terminal kedatangan bandara, dan loket imigrasi. Juga conveyor belt yang besar dan panjang untuk pengambilan bagasi penumpang. Namun di antara semua hal tersebut, menghadapi loket imigrasi menjadi hal yang paling mendebarkan.
Meskipun saya sudah terbiasa dan bahkan bisa dikatakan sebagai rutinitas dalam perjalanan luar negeri, perjalanan kali ini sangat berbeda. Saya sedang menjalankan dua misi sekaligus: sebagai petugas haji dan sekaligus menjalankan ibadah haji. Keduanya adalah misi spiritual, misi suci atau bolehlah disebut holy possible mission.
Menjadi petugas haji berarti menyediakan diri sebagai pelayan bagi dluyūf al-rahmān (tamu-tamu Allah). Sementara menjalankan ibadah haji berarti secara rohani telah menyiapkan batin untuk mengalami perubahan diri. Karena itulah saya menyebutnya sebagai perjalanan misi suci.
Kenapa menghadapi loket imigrasi mendebarkan? Karena di loket imigrasi menjadi pintu masuk yang menentukan. Meskipun visa haji sudah di tangan, tetapi banyak hal yang bisa saja terjadi. Bukankah pernah ada cerita tentang orang-orang yang sudah mengantongi visa masuk sebuah negara, khususnya visa haji, tapi kemudian tertolak karena adanya sejumlah faktor.
Lintasan panjang terminal kedatangan telah kami lewati. Kerumunan penumpang yang menunggui koper-koper bawaannya dengan setia telah kami lalui pula. Hingga pada akhirnya sampai di depan loket imigrasi. Meskipun berusaha bersikap setenang mungkin, debar dalam hati tetap tak bisa menghindari. Ada rasa harap-harap cemas, yang oleh ahli ilmu keislaman diistilahkan al-rajā’ wa al-khawf.
Staf imigrasi melambaikan tangan, dan saya pun mendekat untuk memberikan paspor. “Bradana?” petugas itu memanggil nama saya. Orang Arab tidak bisa mengucapkan “p” (baca: pe.red), karena dalam huruf hijaiyah tidak ada huruf yang sepadan dengan “p”. Maka, yang paling dekat adalah “b”, sehingga nama saya dibunyikan jadi “Bradana.”
Tidak apa-apa, mā fi musykilah (tidak masalah). Staf imigrasi itu memeriksa paspor, lalu meminta saya menghadap kamera. Dalam beberapa menit kemudian ia menyerahkan paspor saya, sambil berkata: “Indonesia, selamat datang.” Saya menjawab, “Syukran.”
Ini menjadi kali ke-2 saya memasuki Arab Saudi. Pertama kali ke Arab Saudi tahun 2018 dan mendarat di Madinah, atau sekarang di Jeddah. Maka Jeddah merupakan hal baru. Menjadi petugas haji adalah hal baru, dan menjalankan ibadah haji juga hal baru. Maka wajarlah, setiap kali menghadapi hal-hal baru, kita pasti bertanya-tanya tentang apa yang harus dilakukan. Demikian pula saya.
Mengawali misi sebagai petugas haji ini, kami memang telah mendapatkan bimbingan teknis. Persoalannya, bagaimana melaksanakan tugas ini nanti secara tepat? Bagaimana melaksanakan tugas yang sekaligus melaksanakan ibadah? Bisakah keduanya berjalan seiringan? Saya pun belum bisa membayangkan sepenuhnya. Pertanyaan-pertanyaan ini menggelayuti benak saya di setiap waktu. Karena itu, saya harus berusaha mengikuti, mengingat dan merekam setiap tahapan dalam misi suci ini.
Setelah proses imigrasi dan bagasi selesai, kami pun keluar dari Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Barisan bus-bus yang akan membawa kami ke hotel transit di kawasan bandara Jeddah sudah menunggu. Di hotel transit kami melakukan tiga hal: makan malam, mandi wajib sebelum ihram, dan memakai baju ihram atau istilah lainnya mengambil miqat.
Dari tiga hal ini, yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah tentang mengambil miqat atau memulai pakaian ihram. Karena hal ini memiliki ketentuan khusus dalam Islam, sementara kondisi kami sebagai petugas memerlukan penyesuaian-penyesuaian. Barangkali bagi sebagian orang menganggapnya memiliki potensi penyimpangan dari ketentuan ibadah haji.
Lho, kok menyimpang? Untuk lebih jelasnya, saya akan ceritakan bagaimana keseluruhan proses itu berlangsung untuk dipahami situasinya dan kemudian ambil kesimpulannya. Saya akan memulai dengan sedikit pembahasan tentang miqat, berikutnya tentang Jeddah sebagai miqat, dan kemudian melihat lebih jauh situasi sebagai petugas haji yang mengharuskan untuk menjalani hal-hal tertentu itu.


0 Tanggapan
Empty Comments