
PWMU.CO – Pesan AR Baswedan; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sembilan judul lainnya
Jangan langkah kau patahkan
AR Baswedan
oleh celaan dari khalayak
biarpun mereka terus menyalak
jangan kafilah hendak berhenti
jangankan kau
sedangkan Nabi utusan Allah dinista orang
Terbayang Tokoh Besar
Saat membaca sajak di atas, boleh jadi, di sebagian kita berlintasan bayangan tokoh-tokoh besar. Pertama, terbayanglah AR Baswedan (1908-1986) si penulis sajak. Dia memang keturunan Arab, tapi jangan pernah meragukan nasionalismenya. Dia jurnalis komplit, yang dengan keahliannya turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan ikut mengisi pembangunannya.
AR Baswedan terbukti sebagai pejuang-pemberani. Dia pada 1947, dapat membawa pulang dengan selamat dari Kairo, dokumen pengakuan atas kedaulatan Republik Indonesia yang baru berdiri.
Dokumen sangat penting itu dia masukkan ke kaos kakinya dan dengan cara tersebut berhasil melewati penjagaan ketat Belanda di bandara. Tak mengherankan, ditambah berbagai jasa lainnya kepada republik ini, AR Baswedan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Kedua, terbayanglah Ahmad Surkati (1875-1943), ulama besar dan pendiri Al-Irsyad. Menjadi ingat Surkati, karena isi sajak itu merupakan semacam rekaman seorang murid terhadap nasihat gurunya. Benar, AR Baswedan adalah murid Surkati.
Murid-murid Surkati, baik yang langsung berguru kepadanya atau yang mengambil ilmu secara tak langsung, di kemudian hari banyak yang menjadi ulama berpengaruh. Juga, tak sedikit yang menjadi tokoh nasional.
Sekadar menyebut murid-murid Surkati, selain AR Baswedan adalah Mas Mansur (pemuka Muhammadiyah), Abdul Halim (pendiri Persatuan Umat Islam (PUI), Natsir dan Kasman Singodimedjo (Jong Islamieten Bond, JIB). Juga, Hasbi Ash-Shiddieqy (akademisi dan penulis buku-buku).
Ketiga, terbayanglah Hamka (1908-1981). Ulama besar ini punya banyak kelebihan. Bukunya, lebih dari seratus judul, nonfiksi dan fiksi. Di kedua jenis tulisan itu, sama-sama berhasil menyedot perhatian pembaca.
Hal yang menarik, perlakuan sebagian orang kepada Hamka terkait yang berjenis fiksi (baca: roman). Dulu, sebagian ulama termasuk penikmat karya fiksi Hamka. Mereka membacanya diam-diam dan memujinya di dalam hati. Itu di satu sisi. Di sisi lain, orang yang sama mencela Hamka.
Memang, dulu, sejumlah ulama kolot yang antibuku roman juga membaca novel-novel Hamka. Setelah selesai mereka membaca dengan asyik, anehnya, Hamka mereka beri gelar “Ulama Roman”.
Terkait hal di atas, muncullah akibat. Bila Hamka lewat di jalan-jalan di Kota Medan, anak-anak nakal yang telah terpengaruh propaganda para ulama kolot, “menyalak”. Mereka menyoraki Hamka: “Halo ulama roman, halo ulama roman Van der Wijck!
Baca sambungan di halaman 2: Terbayang Anies Baswedan


0 Tanggapan
Empty Comments