Search
Menu
Mode Gelap

Piagam Jakarta Nasibmu Kini

Piagam Jakarta Nasibmu Kini
pwmu.co -
Oleh Ainur Rafiq Sophiaan – Pemimpin Redaksi MATAN dan Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Digital Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

PWMU.CO – Ada satu babak sejarah yang terlupakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Mari kita ingat-ingat. Setiap tanggal 22 Juni nyaris tak ada wacana, perbincangan, dan tulisan. Terlebih lagi seminar atau forum yang agak mentereng. Apalagi generasi milenial dan Gen Z. Pasti kaget mendengar “barang antik” ini!

Padahal pada tanggal tersebut, 80 tahun lalu menjadi titik kritis perjalanan bangsa. Hari ini kita bisa berandai-andai. Andai tak ada kata sepakat. Andai perjanjian itu tak mengalami perubahan. Saat itu beberapa tokoh pendiri bangsa melahirkan Piagam Jakarta. Setelah lama berdebat, ada tujuh kata yang sepakat dihilangkan: “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemelukNya.”

Momentum bersejarah itu tak lepas dari pikiran brilian tiga tokoh Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Prof Kahar Mudzakir, dan Mr Kasman Singodimedjo. Ketiganya bersama tokoh-tokoh lain merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hasil perubahan itu pun menjadi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana yang tertulis di Pembukaan UUD 1945 dan Sila Pertama Pancasila.

Pengingatan babak sejarah itu juga termaktub dalam risalah “Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah” – sebuah dokumen sekaligus doktrin penting Persyarikatan Muhammadiyah dalam berbangsa dan bernegara sebagai hasil dari Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, 2015 lalu. Pencoretan “tujuh kata dalam Piagam Jakarta” itu bukan hal mudah bagi para tokoh Muhammadiyah dan wakil umat Islam kala itu. Namun sikap tersebut diambil sebagai wujud dan tanggung jawab kebangsaan demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kita tak mungkin memutar balik jarum jam sejarah, akan menjadi pekerjaan sia-sia. Terpenting menjadi renungan adalah para pendiri bangsa telah bersepakat menempatkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dan utama. Urutan itu bukan urutan biasa dan bukan tanpa makna. Dan bagi tokoh-tokoh Islam, Ketuhanan Yang Maha Esa itu tak lain adalah maknanya  ajaran Tauhid.

Dalam salah satu tulisan Proklamator yang sekaligus Wakil Presiden Indonesia pertama Mohammad Hatta yang berjudul “Pengertian Pancasila”  menyebutkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar yang memimpin cita-cita negara kita. Dasar itu pula yang akhirnya menjadi politik negara mendapat dasar moral yang kuat (Politik, Kebangsaan, Ekonomi Mohammad Hatta, Penerbit Kompas, 2015).

Mencermati kilas ringkas sejarah dan tulisan seputar ini rasanya kita terbawa ke alam mimpi. Seperti dongeng di siang hari. Ketuhanan Yang Maha Esa kerap terlupakan dan menganggapnya sebagai pelengkap. Tak lagi memiliki ruh dan spirit. Jangankan sila pertama yang diabaikan, sila-sila lainnya juga cuma terdengar di setiap sambutan pejabat dan lomba pidato anak sekolah. Bahkan pernah jadi bahan pertanyaan berhadiah sepeda seperti Presiden Joko Widodo lakukan.

Bung Karno saat mengumumkan Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945 pada 5 Juli 1959 menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi ini. Spirit Piagam Jakarta adalah semangat melaksanakan dasar-dasar keagamaan dalam seluruh rangkaian kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajuan suatu negara jangan semata diukur dari indikator pertumbuhan ekonomi dan capaian demokrasi secara prosedural.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Kita tengah menghadapi ancaman kerusakan moral yang luar biasa. Bentuk dan intensitas kejahatan makin marak. Di tingkat atas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme makin merajalela. Penegakan hukum selalu terbentur kolusi pengusaha dan penguasa. Ada anekdot: zaman Orde Baru praktik korupsi di bawah meja. Awal Reformasi praktik korupsi di atas meja. Sekarang praktik korupsi, mejanya pun dibawa serta!

Di kalangan masyarakat awam kejahatan makin sadis dan miris. Kenakalan remaja dan orang tua seolah berlomba saling mencetak prestasi sebanyak-banyaknya. Gerakan amar ma’ruf dan nahi munkar saling bertukar. Tidak jelas harus dimulai dari mana untuk bisa mengurangi. Karena institusi keluarga sebagai  basis pendidikan pertama dan utama telah sirna. Judi online dan aksi kekerasan terus berlangsung di tengah melemahnya wibawa penegak hukum.

Fenomena itu terjadi karena tokoh-tokoh agama baru terlibat sebatas ritual seremonial (upacara) dan pendidikan yang sekedar formalitas. Arah pendidikan nasional kurang mengarah pada tujuan pendidikan nasional yang sesungguhnya, terutama membentuk manusia yang beriman dan bertakwa.  Agama seolah sebatas urusan manajemen haji dan pengumuman awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Agama belum dianggap sebagai sektor strategis. Padahal itulah spirit Piagam Jakarta. Amanat para pendiri bangsa !***

Editor Notonegoro

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments