Pagi itu, udara Madinah masih lembut. Seorang anak kecil dengan mata berbinar hendak melangkah keluar rumah. Namanya Malik. Ia ingin sekali duduk di majelis ilmu, mendengarkan seorang guru besar bernama Rabi‘ah bin Abdurrahman.
Namun, sebelum Malik sempat membuka pintu, ibunya memanggil. Dengan tangan lembut, ia merapikan pakaian anaknya. Tidak mewah, tapi pantas: bersih, rapi, dan berwibawa. Lalu, dengan suara yang dalam dan penuh kasih, ia berpesan:
“Nak, belajarlah adab sebelum engkau belajar ilmu. Ambillah sikap santun gurumu, sebelum engkau serap kata-katanya.”
Kalimat itu bagai panah cahaya, menembus hati Imam Malik kecil. Dan kelak, pesan sederhana seorang ibu inilah yang membuatnya tumbuh menjadi Imam Malik, salah satu ulama besar yang namanya harum hingga berabad-abad.
Kita bisa membayangkan perasaan Imam Malik waktu itu. Ia begitu bersemangat ingin jadi pintar, ingin tahu banyak hal. Tetapi ibunya justru menekankan sesuatu yang jarang terpikir oleh anak-anak: belajarlah adab dulu.
Kenapa? Karena ilmu itu seperti air. Jika wadahnya kotor atau retak, airnya akan keruh, bahkan tumpah. Wadah itu adalah diri kita: sikap, hati, karakter. Tanpa wadah yang baik, ilmu justru bisa berubah menjadi senjata yang menyakiti orang lain.
Di era Gen-Z sekarang, kita terbiasa dengan kecepatan: scroll cepat, jawab cepat, dapat informasi cepat. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah hati kita sudah siap menerima semua itu? Atau kita hanya menjadi “pintar” di layar, tapi kosong dalam jiwa?
Fenomena hari ini begitu nyata. Ada anak SMA yang jago coding, tapi tidak bisa menyapa gurunya. Ada mahasiswa yang fasih bicara teori, tapi enggan antre dengan sabar. Ada influencer yang punya jutaan pengikut, tapi kehilangan rasa hormat pada orang tua.
Apakah ini yang disebut maju? Atau justru kita sedang kehilangan inti dari pendidikan: adab sebagai pondasi.
Psikolog pendidikan Thomas Lickona pernah berkata, “Pendidikan tanpa karakter ibarat menanam benih di tanah tandus—tumbuh cepat, tapi rapuh.” Kita bisa melihat buktinya: banyak anak muda cerdas, tetapi gampang marah, gampang tersinggung, dan gampang patah.
Bayangkan, di tengah hiruk-pikuk zaman digital, pesan ibu Imam Malik itu muncul kembali dan berbisik pada kita:
“Nak, jangan hanya sibuk mencari ilmu. Siapkan dulu dirimu. Lembutkan hatimu, jaga sikapmu, hormati gurumu. Maka ilmu yang masuk akan menjadi cahaya, bukan hanya data.”
Bukankah itu yang kita butuhkan sekarang? Bukan sekadar generasi yang melek teknologi, tetapi juga melek hati.
Ibu Imam Malik mungkin tak pernah mengenal TikTok, Instagram, atau YouTube. Tapi pesannya terasa abadi, bahkan lebih relevan untuk kita hari ini.
Jika ingin benar-benar berilmu, mari siapkan dulu wadahnya. Bukan hanya otak yang cerdas, tapi hati yang lapang. Bukan hanya keterampilan yang mumpuni, tapi sikap yang rendah hati.
Sebab ilmu tanpa adab hanya akan menjadikan kita pintar sendirian, sementara ilmu dengan adab akan menjadikan kita bijak bersama orang lain.
Dan mungkin, itulah hadiah terbesar seorang ibu untuk anaknya: menjadi manusia, sebelum menjadi pintar. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments