Delapan puluh tahun lalu, para pendiri bangsa memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebuah momentum bersejarah yang menandai berakhirnya penjajahan dan lahirnya sebuah bangsa yang bebas menentukan nasibnya sendiri.
Sejak saat itu, Indonesia terus bergerak menghadapi berbagai dinamika sosial-politik. Pergantian delapan rezim pemerintahan menjadi bukti bahwa perjalanan menuju cita-cita bangsa tidaklah mudah, melainkan membutuhkan inovasi kebijakan, termasuk dalam bidang pendidikan.
Sejak awal, pendidikan telah menjadi salah satu aspek prioritas bangsa. Persoalan ketidaktahuan generasi muda menjadi alasan utama lahirnya berbagai inovasi dalam pendekatan pembelajaran.
Konsistensi kebijakan pemerintah serta kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan—baik formal maupun informal—menjadi fondasi untuk membentuk generasi yang inklusif, adaptif, dan progresif.
Secara hakikat, pendidikan adalah kesadaran akan pengetahuan. Paulo Freire menegaskan bahwa pendidikan merupakan sarana kebebasan yang memanusiakan manusia melalui nalar kritis dan dialogis.
Pendidikan sejati lahir dari kegelisahan, tumbuh menjadi harapan, dan berbuah pada pemberdayaan masyarakat. Dengan basis pemikiran kritis, pendidikan mampu menjadi gerakan sosial yang masif.
Fenomena pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari arus globalisasi, perkembangan teknologi, dan kemajemukan sosial.
Para pelajar harus diajarkan pentingnya hidup dalam keragaman agar mampu mengeksplorasi diri, memahami lingkungan, sekaligus berpikir jauh ke depan.
Peralihan dari generasi Z ke generasi Alpha menuntut dunia pendidikan untuk beradaptasi lebih cepat. Teknologi berkembang setiap detik, arus informasi di media sosial bergulir tanpa henti, dan perubahan sosial bergerak begitu dinamis.
Pelajar dituntut untuk tidak hanya mengikuti arus, tetapi juga mampu bertahan agar tidak tenggelam dalam perubahan.
Pada tahun 2025, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI memperkenalkan pendekatan Deep Learning sebagai strategi baru dalam merangsang daya tangkap siswa.
Prof. Abdul Mu’ti, Menteri Dikdasmen sekaligus Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, menegaskan bahwa Deep Learning dibangun atas tiga prinsip: mindful, meaningful, dan joyful.
Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi proses sadar, bermakna, dan menyenangkan—yang melibatkan siswa serta masyarakat secara aktif.
Tan Malaka dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia menyebut pendidikan sebagai dasar kebebasan. Kebebasan mengekspresikan diri, bertindak berdasarkan ilmu pengetahuan, serta membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan.
Ia menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan. Dengan demikian, orang berilmu harus membumi, menyatu, dan berkontribusi nyata dalam kehidupan sosial.
Selama 64 tahun, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) hadir sebagai bagian dari perjuangan pendidikan di Indonesia.
Dengan cita-cita kolektif melahirkan pelajar yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil, IPM berupaya mewujudkan pengetahuan yang inklusif dan multikultural.
IPM memahami bahwa generasi muda berhak mendapatkan pengalaman, pengetahuan, dan akses pendidikan yang adil.
Keadilan pendidikan mencakup keterjangkauan akses, internalisasi budaya, hingga terciptanya lingkungan belajar yang menyenangkan.
Dalam kerangka ini, pendidikan multikultural menjadi penting. Bikhu Parekh dalam bukunya Rethinking Multiculturalism mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan yang bebas dari prasangka, bias etnosentris, serta membuka ruang eksplorasi terhadap berbagai budaya dan perspektif.
Dengan memanfaatkan keragaman, pendidikan dapat menjadi wadah yang strategis dalam membentuk generasi yang berpikiran terbuka.
IPM Harus Apa?
Menghadapi era baru, IPM ditantang untuk melahirkan pelajar yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kritis, adaptif, dan berdaya saing global. IPM perlu:
1. Menguatkan pendidikan multikultural agar pelajar memiliki kesadaran menghargai keragaman.
2. Mendorong literasi teknologi kritis, sehingga pelajar mampu memanfaatkan teknologi dengan etika keilmuan.
3. Menghidupkan tradisi berpikir kritis dan berdialog dalam menjawab persoalan sosial.
4. Menjadi jembatan antara pendidikan formal dan nonformal untuk menciptakan generasi yang berdaya.
Dengan langkah ini, IPM dapat memastikan bahwa pelajar Muhammadiyah tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi menjadi aktor penting dalam membangun peradaban. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments