Di tengah perubahan dunia yang serba instan, pendidikan menempati posisi strategis untuk menjawab persoalan global yang kompleks, seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, ketimpangan sosial, dan pola konsumsi yang merusak keberlanjutan bumi.
Oleh karena itu, di abad ke-21 ini, pendidikan tidak lagi cukup hanya menyiapkan manusia yang cerdas secara akademik, tetapi juga yang bijak secara moral, peduli secara sosial, dan sadar secara ekologis.
Kesadaran tersebut menjadi dasar lahirnya Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan seperti yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2015.
Dari 17 tujuan global tersebut, SDG 4: Quality Education menjadi fondasi utama karena pendidikan diyakini sebagai pintu menuju perubahan yang lebih luas.
Utamanya melalui Target 4.7 yang menekankan pentingnya menanamkan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap untuk membangun dunia yang berkelanjutan, damai, dan berkeadilan.
Dari semangat ini, muncul konsep Education for Sustainable Development (ESD) atau Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Pendekatan pendidikan yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi membentuk manusia yang mampu berpikir kritis, berempati, berkolaborasi, dan bertindak nyata demi masa depan yang lebih baik.
Indonesia Menyelaraskan Pendidikan dengan SDGs
Sebagai negara yang ikut menandatangani Agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan, Indonesia menegaskan komitmennya untuk menanamkan nilai-nilai keberlanjutan melalui reformasi pendidikan nasional.
Sejak diterapkannya Kurikulum Merdeka pada tahun 2022, pemerintah berupaya memastikan bahwa setiap siswa tidak hanya belajar untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kehidupan bersama di planet ini.
Pembaruan besar hadir melalui Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 13 Tahun 2025, yang mengubah beberapa aspek penting dari Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024.
Peraturan ini menandai arah baru pendidikan Indonesia yang lebih berbasis kompetensi, kontekstual, dan transformatif.
Ada tiga perubahan besar yang menandai era baru ini:
- Penguatan Profil Pelajar Pancasila menjadi Profil Lulusan. Profil baru ini memiliki delapan dimensi utama sebagai panduan capaian karakter dan kompetensi peserta didik.
- Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) diadaptasi menjadi Kegiatan Kokurikuler. Format pembelajaran ini lebih fleksibel dan relevan dengan kebutuhan sekolah serta konteks lokal.
- Mempertegas pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning) yang mendorong siswa untuk memahami, merefleksi, dan menerapkan ilmu secara bermakna.
Jiwa SDGs dalam Pendidikan
Ada delapan dimensi Profil Lulusan yang menjadi arah baru Kurikulum Merdeka, yaitu: Keimanan dan Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kewargaan, Penalaran Kritis, Kreativitas, Kolaborasi, Kemandirian, Kesehatan, dan Komunikasi.
Setiap dimensi tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkelindan membentuk manusia Indonesia yang utuh spiritual, intelektual, sosial, dan ekologis.
Jika ditarik dalam konteks global, delapan dimensi ini selaras dengan kompetensi transformasional UNESCO untuk keberlanjutan, yakni: tanggung jawab, empati, dan agensi.
Misalnya, dimensi Keimanan dan Ketakwaan menumbuhkan kesadaran spiritual yang menjadi dasar etika ekologis; Kewargaan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap kehidupan bersama (SDG 16 & 17); Penalaran Kritis dan Kreativitas menumbuhkan inovasi untuk solusi berkelanjutan (SDG 9 & 12);
Selain itu juga kolaborasi mengajarkan pentingnya gotong royong global; Kemandirian menumbuhkan daya juang dan refleksi diri; Kesehatan beririsan dengan SDG 3 tentang Good Health and Well-being; dan Komunikasi membuka ruang dialog lintas budaya demi keberlanjutan sosial.
Profil Lulusan tidak hanya mencerminkan identitas bangsa, tetapi juga menjadi jembatan antara nilai-nilai lokal dengan visi global SDGs.
Kegiatan Kokurikuler: Sekolah sebagai Laboratorium Keberlanjutan
Transformasi berikutnya terwujud dalam bentuk Kegiatan Kokurikuler. Kegiatan ini menggantikan Proyek P5 dengan cakupan yang lebih luas dan fleksibel.
Di sinilah semangat SDGs benar-benar dihidupkan. Sekolah diberikan otonomi untuk merancang proyek lintas disiplin yang menjawab tantangan nyata, baik isu lingkungan, sosial, budaya, maupun ekonomi di sekitar mereka.
Misalnya pada proyek bertema Circular Economy (SDG 12), mendorong siswa menciptakan produk daur ulang yang bernilai guna.
Atau pada proyek Healthy Mind and Body (SDG 3) yang menanamkan kebiasaan hidup sehat dan kesadaran mental. Juga pada proyek Local Wisdom for Climate Action (SDG 13 & 15) yang menggabungkan kearifan lokal dalam pelestarian ekosistem.
Melalui kegiatan ini, siswa tidak hanya belajar teori, tetapi mengalaminya secara langsung menganalisis masalah, merancang solusi, berkolaborasi dengan masyarakat, dan merefleksikan hasilnya.
Sekolah pun bertransformasi menjadi “living laboratory for sustainability”, tempat di mana pembelajaran akademik berpadu dengan pengalaman sosial nyata.
Pembelajaran Mendalam: Dari Pengetahuan Menuju Kesadaran
Kurikulum Merdeka menegaskan bahwa hakikat belajar adalah proses memahami makna hidup dan bertindak untuk kebaikan bersama.
Karena itu, pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning) diterapkan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir reflektif, sistemik, dan berorientasi masa depan ciri khas dari Education for Sustainable Development (ESD).
Guru berperan sebagai fasilitator yang menuntun siswa menelusuri hubungan antara pengetahuan ilmiah, nilai kemanusiaan, dan dampaknya terhadap lingkungan.
Misalnya, dalam pelajaran IPA, siswa tidak hanya mempelajari efek rumah kaca secara teoritis, tetapi juga menganalisis pola konsumsi energi di rumah tangga dan mencari alternatif hemat energi.
Di sinilah muncul kesadaran bahwa ilmu pengetahuan dan tanggung jawab sosial adalah dua sisi dari koin yang sama.
Pendekatan ini memperkuat tiga kompetensi inti ESD menurut UNESCO:
- Systems thinking;
- Future thinking, dan;
- Values-based learning.
Siswa belajar memahami keterkaitan antara manusia dan alam, merancang masa depan yang lebih baik, dan menanamkan nilai moral dalam setiap keputusan.
Penilaian sebagai Proses Transformasi
Perubahan paradigma pendidikan juga menuntut perubahan dalam cara menilai hasil belajar.
Kurikulum Merdeka menempatkan penilaian autentik dan reflektif sebagai bagian dari proses belajar, bukan sekadar pengukuran hasil akhir.
Dalam konteks SDGs, penilaian berfungsi untuk melihat sejauh mana siswa berkembang sebagai individu yang sadar, peduli, dan berdaya.
Penilaian dapat berbentuk proyek, portofolio, jurnal reflektif, observasi perilaku, hingga peta konsep sistemik.
Obyek penilaiannya bukan hanya pada apa yang diketahui, tetapi bagaimana siswa berpikir, berkolaborasi, berempati, dan bertindak.
Pertanyaan yang diajukan bukan lagi “Seberapa banyak yang kamu tahu?”, tetapi “Bagaimana kamu berubah setelah belajar ini?”.
Model asesmen ini menghidupkan semangat ESD: pembelajaran yang menumbuhkan manusia utuh yang berpikir global, bertindak lokal, dan peduli pada masa depan bumi.
Menuju Pendidikan Transformatif untuk SDGs
Semua perubahan ini menandai arah baru pendidikan Indonesia.
Kurikulum Merdeka bukan hanya reformasi administratif, tetapi langkah filosofis menuju pendidikan transformatif yang berlandaskan SDGs.
Ia mengajarkan bahwa belajar sejati adalah upaya menjadi manusia yang memelihara kehidupan baik untuk dirinya, sesama, maupun alam semesta.
Keberhasilan transformasi ini bergantung pada kolaborasi banyak pihak: guru, kepala sekolah, orang tua, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan adalah proyek kemanusiaan bersama.
Pada akhirnya, Merdeka Belajar menemukan maknanya yang paling hakiki, yaitu kebebasan berpikir dan bertindak untuk menciptakan dunia yang lebih adil, damai, dan lestari.
Pendidikan bukan lagi sekadar menyiapkan pekerjaan untuk masa depan, tetapi menyiapkan masa depan untuk kehidupan itu sendiri.
Karena sejatinya, mereorientasi pendidikan nasional berbasis SDGs bukan sekadar membenahi kurikulum. Lebih penting dari itu adalah menenun harapan, agar nilai keberlanjutan tumbuh dalam diri setiap pelajar, dan bumi ini tetap layak dihuni bagi generasi yang akan datang.***


0 Tanggapan
Empty Comments