Search
Menu
Mode Gelap

Sekolah Bukan Pabrik Nilai

Sekolah Bukan Pabrik Nilai
pwmu.co -
Oleh Triyo SupriyatnoWakil Ketua PDM Kota Malang, Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

PWMU.CO – Memasuki masa akhir semester, maka institusi pendidikan — baik dasar, menengah maupun tinggi — pasti akan melakukan penilaian akhir untuk peserta didiknya. Mulai dari kampus, sekolah, madrasah hingga pesantren menjadikan tradisi evaluasi sebagai bagian dari budaya pendidikan tiap akhir aktivitas pembelajaran. 

Masih banyak institusi pendidikan yang menjadikan nilai akademis sebagai tolok ukur utama kecerdasan. Anak yang pintar adalah mereka yang memperoleh nilai tinggi, juara kelas, atau lulus ujian dengan sempurna. Indikator keberhasilan murid mengalami penyederhanaan menjadi dengan angka-angka di raport, ranking kelas, dan skor ujian standar. Padahal, kecerdasan manusia jauh lebih luas, kompleks, dan tak selamanya bisa diukur lewat angka.

Howard Gardner, psikolog pendidikan terkemuka dari Harvard, sejak dekade 1980-an telah menawarkan konsep multiple intelligences atau kecerdasan majemuk. Menurut Howard Gardner, kecerdasan manusia tidak tunggal. Melainkan terdiri dari berbagai jenis, yaitu: kecerdasan linguistik, logika-matematis, spasial, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, hingga naturalis. 

Sayangnya, di ruang-ruang kelas kita, yang diukur hampir selalu hanya logika-matematis dan linguistik, sementara kecerdasan lain nyaris diabaikan. Akibatnya, banyak anak yang memiliki potensi luar biasa dalam bidang-bidang non-akademis justru dinilai gagal karena tak sesuai dengan standar nilai rapor. Anak yang mahir bermusik, berbakat olahraga, piawai merangkai kata, atau memiliki kepekaan sosial tinggi, sering kali tak mendapat tempat. 

Di mata sistem, mereka tak cukup cemerlang. Padahal, dalam kehidupan nyata, keterampilan seperti empati, kreativitas, kemampuan berkomunikasi, berpikir kritis, dan menyelesaikan masalah justru sangat menentukan keberhasilan seseorang.

Budaya pemujaan nilai

Dunia pendidikan kita cenderung mengagungkan nilai akademis. Anak-anak sejak dini terdoktrin dengan pesan bahwa nilai rapor sebagai penentu harga diri. Seringkali orang tua lebih membanggakan anaknya karena nilai raportnya penuh dengan angka 9, daripada membanggakan anaknya yang terlihat bersikap jujur, berani berbicara di depan umum, atau menunjukkan solidaritas terhadap teman yang kesulitan.

Pressure ini menciptakan generasi yang cemas gagal dan takut salah. Banyak anak kehilangan kepercayaan diri hanya karena tidak cocok dengan sistem ujian yang kaku. Mereka tumbuh dengan mindset bahwa kesalahan adalah aib, bukan bagian dari proses belajar. Akibatnya, anak-anak menjadi ragu mencoba hal baru, takut mengambil resiko, dan sangat terpaku pada zona aman.

Lebih jauh, pemujaan nilai akademis juga mengakibatkan lahirnya generasi yang lebih mengukur harga diri dengan angka-angka. Anak yang mendapat nilai rendah merasa dirinya lebih buruk dari teman-temannya, sementara anak dengan nilai tinggi kerap merasa lebih unggul. Bukankah nilai raport hanyalah bagian kecil dari proses belajar, bukan penentu mutlak kualitas manusia?

Menyempitnya definisi cerdas

Sistem pendidikan formal kerap membingkai kecerdasan dalam definisi yang sempit. Cerdas dalam perspektif sistem pendidikan formal biasanya mengukurnya dengan kemampuan menghafal rumus, cepat menyelesaikan soal, dan lulus ujian dengan nilai tinggi. Padahal, banyak kecerdasan lain yang tak tercatat dalam rapor, tapi justru sangat dibutuhkan dalam kehidupan nyata.

Kemampuan anak memahami perasaan orang lain, menyelesaikan konflik, mengelola emosi, hingga ketekunan dan rasa ingin tahu merupakan kecerdasan-kecerdasan utama yang penting untuk menjadi pondasi dalam kehidupan. Ironisnya, jenis kecerdasan ini jarang diukur, diajarkan, apalagi dihargai di sekolah.

Akibatnya, sekolah hanya merasa sukses jika mampu mencetak anak-anak yang cerdas kognitifnya, meskipun lemah dalam menghadapi dunia nyata yang jauh lebih kompleks. Banyak lulusan sekolah unggulan yang gagap bersosialisasi, tak mampu bekerja sama dengan tim, dan sulit menghadapi kegagalan. Inilah imbas dari sistem pendidikan yang terlalu lama memuja angka dan mengabaikan sisi manusiawi pendidikan.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Idealnya filosofi pendidikan itu berpijak pada penghargaan terhadap keberagaman potensi anak. Karena setiap anak membawa keunikan sendiri-sendiri. Peran institusi pendidikan adalah menemukan dan menumbuhkan potensi itu, bukan menyeragamkan cara berpikir. Kita tidak sedang mencetak produk pabrik yang sama ukurannya, tapi sedang membimbing manusia dengan karakter, minat, dan bakatnya yang beragam.

Sekolah harus menjadi ruang yang aman bagi setiap anak agar tumbuh sesuai keunikan dirinya. Anak yang gemar melukis harus mendapat ruang untuk berkembang, anak yang suka menulis juga perlu difasilitasi. Anak yang pandai bicara di depan publik layak diberi kesempatan. Sekolah harus lebih peka terhadap berbagai jenis kecerdasan dan berhenti menilai semua anak dengan ukuran yang sama.

Sekolah harus menjadi ruang yang aman dan mendukung bagi setiap anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan keunikannya sendiri-sendiri. Anak yang gemar melukis perlu diberikan ruang untuk mengekspresikan kreativitasnya, begitu pula anak yang menyukai menulis harus difasilitasi untuk mengasah kemampuannya. Anak yang pandai berbicara di depan publik pun layak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi tersebut. Sudah saatnya sekolah lebih peka terhadap beragam jenis kecerdasan dan berhenti menilai semua anak dengan ukuran yang sama. 

Potret pendidikan dan nilai kemanusiaan

Sudah saatnya kita menggeser visi pendidikan dari mengagungkan nilai ke menumbuhkan nilai. Makna nilai tidak semestinya di bingkai pada bentuk angka di raport. Karena nilai yang sesungguhnya bisa dalam wujud nilai hidup, nilai rasa ingin tahu, nilai keberanian, nilai empati, nilai kejujuran, dan nilai kemanusiaan.

Tugas guru bukan untuk memastikan muridnya mahir menjawab soal ujian, tapi untuk membantu mereka tumbuh menjadi manusia yang berpikir kritis, berani berbeda pendapat, mampu menghadapi kegagalan, serta peduli terhadap sesama. Tugas orang tua pun bukan untuk mendoktrin agar anak mendapatkan skor angka tinggi. Orang tua berkewajiban mendampingi anak agar memiliki kepercayaan diri dan ketangguhan mental dalam menghadapi berbagai situasi.

Bayangkan seorang anak yang nilainya selalu pas-pasan di rapor, tidak pernah menjadi juara kelas, nilai matematikanya sangat rendah, dan hafalan pelajarannya tak pernah utuh. Namun di luar itu, anak memiliki kepekaan sosial luar biasa, sigap membantu temannya yang jatuh di lapangan, suka menghibur temannya yang sedang bersedih, atau selalu berbagi makanan. Siapakah anak yang paling sering mendapatkan penghargaan yang di simbolisasi dengan piala? Terpilih sebagai siswa teladan?

Inilah alasan mengapa kita harus segera merevisi cara pandang kita terhadap kecerdasan dan keberhasilan. Di tengah tantangan dunia pendidikan hari ini, mari kita kembali ke hakikatnya. Bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, bahwa anak bukanlah angka. Dan sekolah bukan pabrik nilai.***

Editor Notonegoro

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments