Sebenarnya, Hari Ibu bukan sekadar satu hari dalam setahun. Seharusnya, setiap hari adalah Hari Ibu. Sebab, setiap hari pula seorang ibu mencurahkan pengorbanannya tanpa pernah merasa lelah. Senyum bahagianya selalu menjadi sumber motivasi, dan doa-doanya melangit tanpa batas, mengiringi setiap langkah anaknya agar cita-cita dapat tercapai.
Lihatlah bagaimana seorang ibu bangun paling awal dan tidur paling akhir. Hari-harinya dipenuhi segudang tugas yang dijalani dengan ikhlas tanpa keluhan. Ketika anaknya sakit, ibu adalah dokter pertama yang penuh kasih. Namun, saat anaknya bahagia, ibu hanya tersenyum, sering kali dengan air mata haru yang mengalir diam-diam.
Oleh karena itu, Hari Ibu sejatinya adalah setiap hari untuknya, bukan hanya pada tanggal 22 Desember kita mengirimkan hadiah. Lebih dari sekadar hadiah, ibu membutuhkan penghormatan, perhatian, dan kasih sayang yang tulus sepanjang waktu.
Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada kita betapa mulianya kedudukan seorang ibu. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah bin Haidah al-Quraisy, ia bertanya kepada Rasulullah saw.,
“Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak kami perlakukan dengan baik?”
Beliau menjawab, “Ibumu.”
Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”
Beliau menjawab, “Ibumu.”
Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”
Beliau kembali menjawab, “Ibumu.”
Lalu ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”
Beliau menjawab, “Bapakmu.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa menghormati ibu bukanlah kewajiban pada waktu tertentu saja, melainkan dalam setiap keadaan. Jadilah insan yang senantiasa memuliakan ibunya dengan memahami keinginannya, memenuhi kebutuhannya, tidak menyakiti perasaannya, dan yang terpenting, selalu mendoakannya.
Ada pula sebuah kisah teladan dari seorang ulama besar, Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Ketika beliau hendak melakukan perjalanan ke Baghdad untuk menuntut ilmu, ibunya membekali beliau dengan 40 dinar sambil berpesan agar beliau senantiasa bersikap jujur. Syekh Abdul Qadir al-Jailani pun menyanggupi pesan ibunya tersebut.
Di tengah perjalanan, beliau bertemu dengan sekelompok pembegal. Salah seorang dari mereka bertanya, “Berapa uang yang kamu bawa?”
Beliau menjawab dengan jujur, “Empat puluh dinar.”
Pembegal itu pun pergi meninggalkannya. Tidak lama kemudian, pembegal lain bertanya hal yang sama, dan beliau kembali menjawab dengan jujur, “Empat puluh dinar.”
Akhirnya, beliau dibawa menghadap pemimpin pembegal. Pemimpin itu kembali bertanya, “Berapa uang yang kamu bawa?”
Beliau tetap menjawab, “Empat puluh dinar.”
Pemimpin pembegal itu terkejut dan bertanya, “Apa yang membuatmu jujur kepada kami?”
Beliau menjawab, “Karena aku telah berjanji kepada ibuku untuk selalu bersikap jujur dan menjaga amanahnya.”
Mendengar jawaban tersebut, sang pemimpin pembegal tersentuh hingga menangis dan merobek pakaiannya sendiri. Ia berkata dengan penuh penyesalan,
“Engkau takut melanggar janji kepada ibumu, sementara aku tidak takut mengingkari janjiku kepada Allah.”
Saat itu juga, pemimpin pembegal tersebut menyatakan tobat kepada Allah dan memerintahkan anak buahnya untuk mengembalikan semua harta rampasan. Mendengar pemimpinnya bertobat, seluruh anggota kelompok pembegal pun ikut bertobat. Mereka berkata,
“Dahulu engkau adalah pemimpin kami dalam kejahatan, maka hari ini engkau adalah pemimpin kami dalam pertobatan.”
Kisah ini menunjukkan dengan jelas bahwa menjaga amanah seorang ibu dapat melahirkan kemuliaan yang besar, baik yang terlihat secara langsung maupun yang tidak terlihat. Oleh karena itu, muliakanlah ibumu setiap hari, karena surga berada di bawah telapak kakinya.
Kasih ibu sepanjang masa. Selamat Hari Ibu, di setiap harinya.


0 Tanggapan
Empty Comments