Sebagai fasilitator produk halal, saya menyaksikan langsung tentang bagaimana isu sertifikasi halal kini bukan hanya menjadi problem domestik. Persoalan sertifikasi halal sudah menjadi persoalan global.
Masalah utama yang muncul terkait sertifikasi halal di tingkat global adalah belum adanya standar halal internasional yang harus diakui bersama.
Perbedaan regulasi antar negara seringkali menjadi penyebab utama timbulnya hambatan ekspor-impor produk. Akibatnya, industri pangan, farmasi, dan kosmetik kesulitan memperluas pasar.
Data dari The State of Global Islamic Economy Report (Dubai, Juni 2025) menunjukkan bahwa nilai pasar halal global telah menembus USD 3,2 triliun, dengan proyeksi pertumbuhan 8,2% per tahun hingga 2030.
Angka ini memperlihatkan potensi besar, sekaligus risiko jika Indonesia tidak mampu bersaing dalam menetapkan standar.
Tujuan utama hadirnya Indonesia di ajang Food Ingredients (Fi) Asia 2025 di Bangkok adalah mempertegas peran sebagai pusat halal dunia.
Indonesia memiliki 232 juta penduduk Muslim atau sekitar 86,7% populasi nasional (BPS, Juli 2025). Hal ini menjadikannya sebagai pasar halal terbesar.
Dengan dasar tersebut, sertifikasi halal Indonesia tidak hanya penting untuk konsumsi dalam negeri, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen diplomasi ekonomi.
Kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam forum ini menegaskan komitmen agar produk Indonesia memiliki daya saing global dan tidak terganjal isu standar yang berbeda-beda antarnegara.
Pentingnya sertifikasi halal global didorong oleh meningkatnya kesadaran konsumen Muslim.
Menurut survei Pew Research Center pada Agustus 2025, sebanyak 72% konsumen Muslim global hanya mau membeli produk bersertifikasi halal resmi.
Ini memaksa produsen, baik perusahaan besar maupun UMKM, untuk beradaptasi.
Tanpa sertifikasi yang jelas, produk akan ditolak, bahkan jika bahannya sebenarnya halal. Oleh karena itu, regulator perlu membuat sistem sertifikasi yang terpercaya, transparan, dan diakui di seluruh dunia.
Industri mengalami kerugian besar akibat standar halal yang tidak seragam.
Laporan OIC Halal Economy (Mei 2025) memperkirakan potensi ekspor makanan halal yang hilang mencapai USD 16 miliar setiap tahun akibat duplikasi sertifikasi di setiap negara.
Akibatnya, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia kesulitan menembus pasar global karena terhambat biaya dan birokrasi.
Jika masalah ini tidak diatasi, visi Indonesia sebagai pusat halal dunia pada 2024–2029 akan sulit terwujud.
Hasil dari keikutsertaan Indonesia di Fi Asia 2025 cukup signifikan.
Delegasi Indonesia berhasil mempromosikan sistem Satu Sertifikat Halal Indonesia yang berbasis digitalisasi.
Dengan sistem ini, proses verifikasi dapat dilakukan lebih cepat. Rata-rata hanya 21 hari kerja, lebih singkat dibanding standar lama yang mencapai 45 hari (BPJPH, September 2025).
Langkah ini diapresiasi oleh peserta dari Malaysia, Brunei, hingga Uni Emirat Arab, karena dianggap sebagai model efisiensi yang bisa direplikasi.
Manfaat dari penerapan sertifikasi halal global sangat luas. Bagi konsumen, jaminan halal meningkatkan rasa aman dan kepercayaan.
Bagi industri, standar yang seragam menekan biaya produksi lintas negara.
Laporan Global Halal Forum (Agustus 2025) menyebutkan bahwa implementasi sertifikasi halal terpadu bisa mengurangi biaya sertifikasi lintas negara hingga 35%.
Manfaat ini tentu memberi ruang lebih besar bagi UMKM Indonesia untuk bersaing di pasar internasional.
Evaluasi terhadap langkah Indonesia menunjukkan kemajuan, tetapi masih ada pekerjaan rumah.
Tantangan utamanya adalah bagaimana menyatukan standar halal dengan negara-negara lain yang punya regulasi berbeda.
Misalnya, Malaysia dan Turki masih menolak pengakuan penuh atas sertifikasi Indonesia.
Selain itu, masih ada kesenjangan infrastruktur digital antara kota besar dan daerah, yang berpengaruh pada proses verifikasi UMKM di pelosok.
Tanpa perbaikan distribusi layanan, keadilan sertifikasi halal akan sulit tercapai secara merata.
Jadi, menurut saya, urgensi sertifikasi halal global menuntut Indonesia untuk terus mengambil peran aktif, baik di forum regional maupun internasional.
Sertifikasi halal bukan sekadar label, melainkan instrumen strategis dalam diplomasi ekonomi dan budaya.
Dengan penguatan sistem, digitalisasi, dan kerjasama lintas negara, Indonesia berpeluang menjadi pemain kunci dalam tata kelola halal dunia.
Jika ada optimalisasi pada peluang ini, maka bukan hanya umat Islam yang mendapatkan jaminan. Seluruh bangsa pun bisa merasakan manfaat dari ekosistem halal yang lebih adil, efisien, dan berdaya saing.***


0 Tanggapan
Empty Comments