Sidak Mendadak, Menkeu Purbaya Pantau Kinerja Bank
Judul berita itu menarik. Boleh jadi karena subjek beritanya, Menkeu Purbaya, sedang naik tangga popularitas—dicintai warganet dan menjadi pujaan media.
Hal lain yang membuat judul berita itu menarik adalah frasa “Sidak Mendadak”. Sang jurnalis rupanya kehilangan jejak diksi “sidak”, yang merupakan akronim dari “inspeksi mendadak”. Karena itu, ia masih merasa perlu menambahkan kata “mendadak”.
Keterplesetan itu boleh jadi muncul karena selama sang jurnalis meliput kegiatan pejabat, faktanya sidak memang tidak dilakukan secara mendadak.
Wartawan sudah diundang dan siap meliput. Lucunya, objek inspeksi mendadak pun sudah tahu dan bersiap-siap menyambut—lengkap dengan suguhan komplet, bahkan ada tari-tarian segala.
Di masa lalu, sudah biasa Pak Camat, didukung para kepala desa, mengerahkan warga untuk menanam pot berbunga di pinggir jalan yang bakal dilalui Pak Bupati.
Setelah bupati balik badan, pot berbunga pun kembali ke pemiliknya, yaitu warga. Tidak salah, karena sidaknya memang tidak mendadak.
Singkatan Bimbo
Urusan singkat-menyingkat ini pernah merisaukan hati grup penyanyi legendaris Bimbo. Seorang penulis, Richard Tuwoliu Mangangue, pernah mengingatkan kita pada lagu Bimbo berjudul “Singkatan”. Lagu jenaka ini liriknya merupakan kritik terhadap kebiasaan masyarakat membuat singkatan.
Demam singkatan tampaknya sudah mendarah daging—sering kali tanpa aturan.
“Janganlah mencoba mencari kamusnya,” sindir Bimbo.
“Jangan pula mencari aturannya. Jangan tanya ahli bahasa. Jangan pula mencari asalnya.”
Memang, tiada guna.
Semoga Anda masih ingat asal kata Siskamling, Puskesmas, Mitan, Raskin, Gepeng, Tilang, Sajam, Curanmor, Sarpras, Baper, Gercep, Mager, dan sejenisnya. Rasanya, hampir setiap hari kita melahirkan satu singkatan atau akronim baru.
Kadang kala—ini bagian yang menjengkelkan—singkatan atau akronim itu sengaja dibuat untuk menyamarkan atau menyembunyikan fakta di baliknya. Gepeng digunakan untuk mengaburkan fakta adanya gelandangan dan pengemis. Raskin untuk menyembunyikan makna beras untuk rakyat miskin.
ABRI
Sekadar pengingat, akronim bandara berarti bandar udara; Disang untuk dinas angkutan; Puskesmas adalah pusat kesehatan masyarakat—bukan pusing, kesel, dan lemas. Ada juga Kemenkes (Kementerian Kesehatan), Rudal (peluru kendali), Sinetron (sinema elektronik), Warkop (warung kopi), dan Mager (malas gerak).
Ada yang lucu: AMD. Maksudnya ABRI Masuk Desa. Padahal ABRI sendiri adalah singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Jadi sudah disingkat, masih disingkat lagi. Untung ABRI tetap kuat. Tapi bukan karena itu ABRI sekarang menjadi TNI, Tentara Nasional Indonesia. He-he.
Oh ya, kata “sidak” digunakan media massa untuk menggantikan kata “incognito”. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti “tidak dikenal” atau “disamarkan”.
Sependek ingatan saya, Balai Bahasa—yang waktu itu sangat rajin merawat Bahasa Indonesia—sering memberi masukan kepada media agar lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Eloknya, Balai Bahasa juga rajin menawarkan sinonim atau padanan dalam bahasa Indonesia.
Istilah spooring and balancing misalnya, diganti dengan laras imbang.
Spooring berarti penyesuaian sudut kemiringan roda agar lurus dan sejajar sesuai standar pabrik.
Balancing adalah penyeimbangan beban roda dan velg untuk memastikan putaran mulus dan bebas getaran.
Setahu saya, istilah “laras imbang” sudah lama tak terdengar. Entah bagaimana nasibnya di tengah bangsanya.
Para petinggi kita tampaknya sudah kehilangan ghirah berbahasa Indonesia. Tak heran, banyak sekali penggunaan kata atau istilah asing untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Tentu beralasan bila acaranya berskala internasional, karena dianggap lebih akrab, global, atau bagian dari konteks internasional.
Namun mengapa tidak mengutamakan bahasa Indonesia untuk acara fashion show (peragaan busana), workshop (lokakarya), fly over (jalan layang), atau sky train (kereta layang)?
Kita berharap Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) masih bersabar dan telaten merawat Bahasa Indonesia. Mungkin perlu menegur lembaga pemerintah daerah agar mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai kegiatan, termasuk yang berskala internasional.
Kabar baiknya, beberapa perguruan tinggi—seperti Universitas Sebelas Maret (UNS)—telah memprioritaskan penggunaan bahasa Indonesia dalam kegiatan akademis di lingkungan kampus.
Agaknya baik juga diingatkan: gelas ukur kesuksesan sebuah acara bukanlah lantaran memasang judul atau tema dalam bahasa asing—seasing apa pun bahasanya. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments