Dalam sebuah analogi, bayangkan sebuah keluarga besar hidup di rumah megah.
Rumah itu dihuni oleh saudara kandung kakak beradik. Mereka memiliki halaman yang luas, dapur penuh makanan, dan lemari berisi emas berlimpah.
Namun, ironisnya, mereka tidak akur. Masing-masing saling merasa paling berhak menjadi kepala keluarga.
Perebutan kekuasaan itu membuat mereka saling menuduh, bahkan sampai terjadi tindak kekerasan.
Padahal, mereka berasal dari darah yang sama, dan rumah itu adalah hak milik bersama.
Kira-kira, seperti itulah gambaran yang terjadi di Sudan. Sebuah negara di Benua Afrika dengan mayoritas penduduk Muslim dan beretnis Arab.
Negeri ini sesungguhnya kaya sumber daya alam: tanahnya begitu subur hingga hasil panennya berpotensi memberi makan satu benua, dan emasnya melimpah ruah.
Sayangnya, semua kekayaan itu kini seakan tak berarti, ditelan oleh perang saudara mengerikan yang melanda negeri tersebut.
Pengkhianatan
Dulu, Sudan dan Mesir adalah satu negara besar. Tapi setelah terjadi kudeta militer di Mesir tahun 1952, Sudan memisahkan diri dan menjadi republik pada 1956.
Sejak saat itu, kudeta demi kudeta kerap terjadi. Bahkan seolah menjadi “tradisi buruk” di dunia Arab-Afrika tersebut.
Salah satu tokohnya adalah Umar Al-Basyir, seorang jenderal militer yang naik ke tampuk kekuasaan juga melalui kudeta.
Awalnya berniat ingin menyatukan Sudan, tapi kemudian Umar Al-Basyir justru menggunakan milisi bersenjata bernama “Al Janjaweed” untuk menyerang kelompok-kelompok yang menjadi musuhnya.
Milisi ini diberi senjata, uang dan kekuasaan. Tindakan ini bagai memberi pisau kepada orang yang lapar kekuasaan.
Akibatnya, antara tahun 2003–2008, lebih dari 300.000 orang dibunuh, ribuan wanita diperkosa dan banyak desa dibakar habis.
Untuk menutupi perannya, Umar Al-Basyir mengganti nama milisi itu menjadi RSF (Rapid Support Forces)—sebuah pasukan “resmi” yang pada dasarnya tetaplah kelompok bayaran atau mafia.
Seiring berjalannya waktu, RSF tumbuh semakin kuat, bahkan berbalik mengkhianati Al-Basyir sendiri dan akhirnya menggulingkannya.
Ironis sekali, bukan? Pasukan yang awalnya dibentuk untuk melindungi justru menjadi biang kehancuran.
Kekuasaan yang Memecah, Bukan Menyatukan
Setelah Al-Basyir jatuh, tampillah tiga orang pemimpin baru: Abdel Fattah al-Burhan dari militer resmi (Sudan Armed Forces/SAF), Mohamed Hamdan Dagolo “Hemetti” dari RSF, dan Abdalla Hamdok dari kalangan sipil.
Hamdok adalah seorang ekonom profesional yang cerdas. Ia mencoba memperbaiki negara dengan cara damai dan menata ulang militer.
Tapi dua kekuatan bersenjata itu justru merasa terancam dan akhirnya bekerja sama menggulingkan Hamdok.
Seiring berjalannya waktu, SAF mengajak RSF bergabung agar tidak ada 2 militer dalam satu negara, namun RSF menolak.
Keduanya pun berpisah jalan. Pada tahun 2023 pecah lagi perang saudara antara SAF dan RSF.
Padahal, keduanya sama-sama beragama Islam dan mengaku pejuang negeri.
Ambisi dan haus kekuasaan telah membutakan mereka. Mereka menjadi lupa dengan Sabda Rasulullah SAW:
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya dizalimi.” (Shahih al-Bukhari no 2262)

Sudan dan Cermin untuk Dunia Islam
Jika kita melihat lebih mendalam, konflik di Sudan bukan semata-mata karena faktor agama atau suku. Perang ini juga disulut perpecahan internal dan keserakahan pada kekuasaan.
Pihak asing ikut campur, menunggangi situasi demi menguasai sumber daya alam, termasuk emas di dalamnya.
Ini menjadi pelajaran berharga, bahwa perpecahan internal dapat membuka peluang bagi pihak luar untuk masuk.
Konflik internal ini seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menguasai sumber daya alam.
Ada pola yang serupa terlihat di berbagai situasi konflik: ketika ada perpecahan di dalam, penderitaan dan kerugian seringkali menimpa pihak yang berseteru.
Seharusnya, ada kesadaran akan pentingnya persatuan untuk menghadapi tantangan bersama.
Sepatutnya, umat Islam itu seperti anggota tubuh yang saling berkait. Jika satu bagian sakit, bagian lain ikut merasakan.
Pelajaran untuk Kita di Indonesia
Apa yang terjadi di Sudan jangan dianggap sebagai berita luar negeri. Peristiwa ini adalah cermin bagi kita di Indonesia. Negeri kita juga kaya, penduduknya mayoritas Muslim dan punya potensi besar. Tapi kalau kita saling menjatuhkan, mudah tersulut oleh perbedaan, dan lupa menjaga persatuan, maka apa yang terjadi di Sudan bisa juga terjadi di Indonesia.
Apa yang terjadi di Sudan jangan hanya kita anggap sebagai berita dari luar negeri.
Peristiwa mengerikan itu adalah cermin bagi kita di Indonesia. Negeri kita juga kaya, mayoritas penduduknya Muslim, dan punya potensi besar.
Namun, jika kita terus saling menjatuhkan, gampang tersulut oleh perbedaan, dan lupa menjaga persatuan, bukan mustahil apa yang menimpa Sudan bisa terjadi di sini.
Allah telah memperingatkan dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi lemah dan hilang kekuatanmu; bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)
Sudan menjadi pelajaran berharga bahwa kekuasaan tanpa persatuan hanya melahirkan kehancuran.
Tidak ada yang menang dalam perang saudara. Dan hanya rakyat, anak-anak dan masa depan bangsa itu sendiri yang menjadi korban.
Karena itu, jika disekitar kita ada orang yang suka membuat kerusakan, gemar memecah belah, rajin menebar kebencian atau semangat memperkeruh perbedaan, maka kita harus berhati-hati.
Dari perpecahan kecil sangat mungkin akan berkobar menjadi tragedi besar.
Semoga umat Islam yang tersandera oleh sengketa dan pertikaian segera mendapatkan kekuatan dan kesadaran untuk bersatu kembali di bawah kalimat Laa ilaaha illallah.***


0 Tanggapan
Empty Comments