
Oleh M Ainul Yaqin Ahsan – MTT PDM Lamongan
PWMU.CO – LEBARAN secara teologis bermakna sebagai puncak penyucian diri setelah Ramadan — momen pengampunan, rekonsiliasi dan kebersamaan. Namun, di negeri ini perayaan Idul Fitri justru menjelma menjadi panggung problematika sosial. Nilai-nilai spiritual justru dikaburkan oleh tekanan materialisme dan performativitas.
Tulisan ini mengkritisi lima paradoks yang menggerogoti hakikat lebaran itu sendiri, yaitu: (1) komersialisasi zakat, (2) fetisisme kemakmuran semu, (3) kriminalitas struktural, (4) toksisitas interaksi sosial, dan (5) eksploitasi ormas.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kegagapan dalam mengelola tradisi keagamaan, tetapi juga mengungkap krisis identitas kolektif di tengah tarikan modernitas dan feodalisme.
Zakat, dari ibadah ke industrial
Zakat merupakan rukun Islam yang bertujuan memeratakan kesejahteraan umat, telah terdistorsi oleh ladang bisnis oligarkis. Dengan 170 lembaga amil zakat resmi — belum lagi ratusan lainnya yang illegal —, Indonesia menghadapi masalah akuntabilitas yang sistemik. Ambiguasi regulasi tentang persentase hak amil (1/8 atau 12,5%) membuka celah eksploitasi. Lembaga mengklaim porsi besar dana umat tanpa transparansi.
Ironisnya, potensi zakat nasional sebesar 300 triliun rupiah yang cukup untuk membiayai program pengentasan kemiskinan, ternyata menguap dalam jeratan jaringan birokrasi yang korup. Di sini, zakat bukan lagi instrumen keadilan, melainkan komoditas yang diperdagangkan atas nama syariat.
Mudik dan fetisisme kemakmuran: silaturahmi sebagai ajang pamer
Mudik merupakan tradisi pulang kampung yang telah bergeser dari nilai silaturahmi ke kontes status sosial. Tekanan untuk “tampil sukses” memaksa kelas pekerja urban — termasuk yang masih berpenghasilan rendah — untuk berutang demi membeli pakaian baru, memberi angpao mewah atau menyewa mobil. Bank Indonesia mencatat pencetakan uang tunai Rp 140 triliun menjelang Idul Fitri, angka yang merefleksikan siklus konsumsi impulsif.
Fenomena ini merupakan bentuk symbolic violence (Bourdieu, 1977), ketika struktur sosial memaksa individu memenuhi standar kemakmuran palsu, meski harus mengorbankan stabilitas finansial.
Kriminalitas, cermin desperasi ekonomi
Kementerian Hukum dan HAM mencatat peningkatan 40% kasus pencurian dan penipuan jelang Hari Raya Idul Fitri. Lonjakan ini bukan sekadar masalah hukum, tetapi indikator kegagalan sistem dalam melindungi warga dari tekanan ekonomi. Masyarakat terjerat dalam dilemma antara memenuhi tuntutan sosial dan mempertahankan integritas. Penipuan investasi bodong, misalnya, menggambarkan bagaimana krisis kepercayaan dan kesenjangan informasi dimanfaatkan untuk eksploitasi.
Kriminalitas bukan sebagai tindakan amoral, melainkan konsekuensi logis dari sistem yang gagal menciptakan keadilan distributif.
Interaksi toksik
Budaya menginterogasi terkait status pernikahan dan finansial selama lebaran merupakan cerminan mentalitas komunal yang intrusif. Pertanyaan seperti “Kapan nikah?”, “Kapan lulus kuliah?” atau “Sudah punya rumah?” dan semisalnya, bukan sekadar pertanyaan basa-basi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menjadi mekanisme pengukuran nilai individu dalam hierarki sosial. Dampaknya, generasi muda mengalami social anxiety hingga memilih menyewa pacar palsu, merupakan bisnis yang marak dengan tarif Rp500.000–Rp1.000.000 per hari.

Praktik ini menunjukkan bagaimana tradisi silaturahmi berubah menjadi ajang surveillance (Foucault, 1977) yang mengalienasi individu dari hak privatisasi diri. Tradisi silaturahmi yang seharusnya mempererat hubungan berubah menjadi aktivitas seperti pengawasan sosial. Individu merasa terawasi dan terpantau secara berlebihan, sehingga mereka kehilangan rasa nyaman dan kehilangan hak untuk menjaga privasi mereka.
Ormas dan legitimasi pemerasan berkedok tradisi
Permintaan ‘jatah THR’ oleh organisasi massa (ormas) tertentu kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan bentuk pemerasan terinstitusionalisasi. Pernyataan Wakil Menteri Agama Muhammad Syafii yang menilai sebagai “bagian dari budaya” justru mengukuhkan praktik memeras berkedok adat ini. Padahal, dalam perspektif ekonomi kelembagaan (North, 1991), lemahnya penegakan hukum mendorong perilaku rent-seeking yang menghambat investasi dalam usaha. Data KADIN menyebut 60% pelaku UMKM merasa terintimidasi oleh ormas, dan memperparah iklim usaha di tengah resesi global.
Merekonstruksi makna lebaran
Kemunafikan di hari Lebaran Idul Fitri adalah gejala dari masyarakat yang terjebak antara modernitas dan feodalisme. Untuk memulihkan esensi Lebaran ini, perlu adanya reformasi multidimensi. Pertama, konsolidasi lembaga zakat di bawah audit independent. Kedua, edukasi finansial untuk memutus siklus konsumtivisme. Tiga, penegakan hukum terhadap praktik pemerasan oleh ormas. Dan, keempat, kampanye kesadaran akan pentingnya empati dalam interaksi sosial. Lebaran harus dikembalikan sebagai ruang refleksi, bukan ajang kompetisi. Sebagaimana pesan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam, “Bukanlah orang mulia itu yang pakaiannya mewah, tetapi yang menjaga integritasnya dalam kesederhanaan.” (Lihat shahih muslim no. 2564 dan Sunan Ibnu Majah no. 3605). (*)
Editor Notonegoro


0 Tanggapan
Empty Comments