Search
Menu
Mode Gelap

Tragedi Sumatera, Pakar UM Surabaya Sebut Kerusakan Lingkungan sebagai Akar Bencana

Tragedi Sumatera, Pakar UM Surabaya Sebut Kerusakan Lingkungan sebagai Akar Bencana
Foto: Reuters
pwmu.co -

Bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera yang menewaskan lebih dari 303 orang serta membuat 279 lainnya hilang mendapat perhatian serius dari Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Satria Unggul Wicaksana, MH.

Dia menegaskan bahwa tragedi ini tidak bisa lagi dianggap sebagai “bencana alam” semata.

“Peristiwa ini bukan kejadian spontan. Ini adalah hasil dari krisis iklim global yang diperparah oleh eksploitasi manusia terhadap alam. Bencana ini menjadi sinyal keras bahwa kerusakan lingkungan kita telah berada pada tahap genting,” ujar Satria, Rabu (3/12/2025).

Menurutnya, prinsip no natural disaster harus menjadi perspektif baru masyarakat dalam membaca kejadian ini. Ia menyoroti kerusakan ekologis di Sumatera yang kian parah akibat deforestasi besar-besaran untuk perkebunan sawit, pertambangan, serta alih fungsi lahan yang tidak mempertimbangkan dampak lingkungan.

Selama bertahun-tahun, aktivitas industri ekstraktif telah menghabisi tutupan hutan, merusak ekosistem, dan membuat kawasan menjadi sangat rentan terhadap banjir bandang dan longsor.

Satria juga mengkritik kebijakan anggaran pemerintah yang dinilainya “serampangan”, terutama pengurangan Dana Tak Terduga (DTT) untuk mitigasi bencana demi mendanai Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Ini bentuk nyata kegagalan negara dalam menjamin keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan,” tegasnya.

Ia menilai negara telah lalai memenuhi hak warga untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 28H UUD 1945. Karena itu, ia menyebut deforestasi yang disertai izin bermasalah bukan sekadar kekeliruan administrasi, tetapi dapat digolongkan sebagai kejahatan lingkungan bahkan berpotensi masuk kategori tindak pidana korupsi.

Satria juga menyayangkan tindakan aparat yang menangkap warga di Sibolga karena mengambil makanan dari minimarket dalam kondisi darurat. Banjir bandang tanggal 25 Oktober 2025 telah memutus akses warga dan membuat kebutuhan pokok sulit dipenuhi.

“Warga mencari makan untuk bertahan hidup. Dalam situasi krisis, aparat seharusnya mengutamakan empati, bukan tindakan represif,” ungkapnya.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Ia mendesak Presiden untuk segera menetapkan Status Darurat Bencana Nasional bagi wilayah Sumatera dan Aceh agar pemerintah dapat menggerakkan sumber daya secara cepat sesuai amanat UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Satria kemudian menyampaikan empat rekomendasi mendesak:

Pertama, evaluasi total dan penghentian aktivitas ekstraktif. Seluruh kegiatan ekstraktif di kawasan vital ekologis harus dihentikan sementara. Izin-izin di daerah rawan banjir wajib ditinjau ulang, khususnya yang terindikasi melanggar atau memanipulasi AMDAL.

Kedua, kebijakan publik berbasis sains dan keadilan sosial. “Pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang berpijak pada kajian ilmiah, bukan sekadar narasi politis,” katanya.

Ketiga, prioritas anggaran untuk pemulihan sosial-ekologis. Anggaran PSN yang berisiko mengancam lingkungan harus dialihkan ke upaya pemulihan pascabencana dan perlindungan hak-hak masyarakat.

Keempat, penegakan hukum yang humanis di masa darurat. “Aparat mesti mengedepankan empati, menjaga keamanan warga, dan tidak melakukan kriminalisasi yang memperparah trauma masyarakat,” tegas Satria.

Dia mendesak Kejaksaan RI dan KPK segera memproses dugaan korupsi dan kejahatan lingkungan yang berkaitan dengan perizinan deforestasi.

“Penegakan hukum harus fokus pada pelanggaran serius dalam pemberian izin, terutama yang mengabaikan atau memanipulasi AMDAL,” tutupnya. (*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments