PWMU.CO – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di bawah kepemimpinan Prof Muhadjir Effendy meluncurkan program baru bernama Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Program yang secara bertahap akan dilaksanakan pada 2016-2020 itu didiskusikan di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, (19-20 /9).
Jika diamati, program ini memang bersinggungan dengan wacana full day school (FDS) yang sempat mengundang polemik. Tetapi seperti ditegaskan Mendikbud sejak semula, apapun namanya program penguatan karakter harus jalan. Sebab, pendidikan nasional banyak dikritik karena belum sukses menjadikan anak-anak berkarakter. Itu bisa diamati dari berbagai kasus kenakalan remaja, asusila, dan radikalisme yang melibatkan pelajar.
(Baca: Inilah Tanggapan Mendikbud Muhadjir Effendy pada Petisi Tolak Pendidikan “Full Day” di Indonesia dan Pro-kontra Wacana Mendikbud soal Full Day School Sudah Melenceng dari Substansi)
Pertanyaannya, apa perbedaan PPK dengan program pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti yang sudah ada sebelumnya? Perbedaannya, program pendidikan karakter sebelumnya hanya merupakan kegiatan ekstrakurikuler sehingga tidak mengikat semua unsur di sekolah. Sementara implementasi PPK dilakukan melalui kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler, dan nonkurikuler.
Dengan begitu semua guru dan tenaga pendidikan bertugas melakukan internalisasi nilai-nilai karakter melalui proses belajar mengajar dan kegiatan ekstra kurikuler. Bahkan keluarga dan masyarakat juga memiliki ruang untuk mendidik anak-anak sehingga berkarakter kuat.
(Baca juga: Dituding Sektarian, Ternyata Mendikbud sudah Lama Praktikkan Sikap Multikultural dan Hikmah Dibalik Wacana FDS: Mendikbud Sukses Ingatkan Kita untuk Kembali Peduli Pendidikan)
Sebagai konsekwensi program PPK, pasti ada penambahan waktu belajar di sekolah. Penambahan waktu ini harus dimanfaatkan sekolah untuk penguatan pendidikan karakter. Bentuk kegiatannya bisa bervariatif sesuai bakat dan minat siswa. Misalnya, pendidikan keagamaan, cinta tanah air (nasionalisme), seni budaya, olahraga, kepemimpinan, bahasa internasional, dan penguasaan ICT.
Dengan tambahan belajar setelah waktu reguler (after school), berarti harus ada kiat supaya siswa nyaman di sekolah. Karena itu Kemendikbud juga meluncurkan tagline “Senang Belajar di Rumah Kedua”. Tagline ini menunjukkan komitmen Kemendikbud untuk membuat suasana di sekolah ramah dan menyenangkan bagi siswa.
(Baca juga: Mendikbud: Penuhi Usia Dini dengan Pendidikan Moral dan Setelah Hampir Sebulan, Akhirnya Mendikbud Bisa Mampir ke Kampung Kelahiran. Begini Sambutan Masyarakat)
Tagline ini juga menjawab kekhawatiran masyarakat terhadap sekolah yang bisa menjadi penjara bagi siswa. Terutama jika program full day diberlakukan di sekolah. PPK ini juga dirancang untuk mewujudkan kebijakan lima hari belajar (Senin-Jumat) di sekolah. Sementara untuk Sabtu-Ahad, anak-anak bisa menikmati waktu bersama keluarga dan masyarakat.
Untuk menyukseskan PPK sekolah bisa menjalin kolaborasi dengan kelompok-kelompok di masyarakat. Secara teknis, sekolah bisa mengundang asosiasi profesi dan komunitas di masyarakat untuk memperkuat pendidikan karakter anak-anak. Pelibatan komunitas di luar sekolah penting untuk menghindari kejenuhan anak dididik guru yang sama dengan pada waktu reguler.
Program PPK ini harus terus jalan karena merupakan bagian dari pesan Presiden Jokowi pada Mendikbud Muhadjir Effendy. Melalui PPK, pembangunan karakter bangsa secara berkelanjutan bisa diwujudkan. PPK ini sekaligus bisa berjalan beriringan dengan program revolusi mental bangsa sebagaimana dijanjikan Presiden Jokowi dalam Nawacita. (*)
Laporan Dr Biyanto MA, peserta aktif Penyusunan Program PPK dan Modul PPK