PWMU.CO – Pernyataan Kepala Staf Presiden Jenderal TNI (Purnawirawan) Moeldoko bahwa 30 teroris akan datang ke Jakarta memanfaatkan pembacaan putusan Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (27/6/19), mendapat tanggapan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof M Din Syamsuddin.
“Sungguh mengerikan. Betapa tidak, seorang teroris saja sudah mengancam nyawa puluhan bahkan ratusan orang, apalagi 30 orang. Lebih mengerikan lagi, jika berita itu benar, akan mengancam nyawa puluhan ribu orang yang berunjuk rasa di Gedung MK,” kata Din dalam keterangan tertulis yang diterima PWMU.CO Rabu (26/6/19) malam.
Menurut dia, pernyataan seorang jenderal purnawirawan, apalagi mantan Panglima TNI, bukan asal bunyi. “Pasti dia memiliki bukti berdasarkan informasi intelijen yang mudah diaksesnya,’ ujarnya.
Maka, tegas Din, aparat penegak hukum dan keamanan harus mencegah rencana aksi kelompok yang dianggap teroris itu. Bahkan Jenderal Moeldoko sendiri harus berbuat sesuatu untuk mencegahnya.
“Sebagai Kepala Staf Presiden tentu dia mempunyai akses dan bahkan dapat melaporkan kepada Presiden Jokowi untuk melakukan langkah-langkah pencegahan,” kata Din.
Kalau tidak ada langkah pencegahan, sambungnya, maka hal itu dapat dianggap membiarkan atau negara tidak hadir menjaga keselamatan rakyat. “Kalau gagal mencegah berarti negara tidak profesional menjaga keamanan. Rakyat akan bertanya, kok sudah tahu mengapa jebol,” katanya.
Untuk itu, kata Din, Moeldoko perlu memberi penjelasan dengan sejelas-jelasnya tentang indikasi adanya 30 teroris itu, di mana mereka berada dan seharusnya mereka sudah ditangkap. “Kalau tidak, sinyalemen Moeldoko itu akan mudah diduga sebagai asal ngomong. Atau omongan semacam itu akan dinilai sebagai bagian dari skenario menakut-nakuti rakyat,” tegasnya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015 itu mengatakan, dirinya perlu menanggapi pernyataan tersebut karena jika terjadi aksi teror biasanya selalu dikaitkan dengan kalangan Islam.
“Umat Islam akan merasa dirugikan apalagi jika ada generalisasi. Umat Islam sudah kenyang dijadikan tertuduh dengan isu terorisme, apalagi terakhir ini dihembuskan lagi isu radikalisme dikaitkan dengan politik identitas atau berdasarkan SARA,” ungkapnya.
Menurut Din, pernyataan tentang adanya kelompok teroris itu mudah dilihat sebagai beririsan dengan isu tentang radikalisme yang dihembuskan sementara kalangan terakhir ini. “Pada hemat saya, pendekatan politik dengan labelisasi seperti itu tidak positif bagi persatuan bangsa, dan dapat dipandang sebagai politik beridentitas lain yang sejatinya bercorak radikal pula,” tegas Din. (MN)