PWMU.CO – Seorang ibu muda, sebut saja Hj Fatimah, tertunduk lesu sepulang dari menunaikan ibadah haji dua tahun lalu. Ia merasa hajinya tidak sah. Pasalnya, saat ia melaksanakan rukun dan wajib haji, “tamu” rutinnya datang. Ia pun ragu-ragu, dan hingga kini terbebani keabsahan hajinya.
Boleh jadi masih banyak hajah lain yang mengalami nasib serupa dengan Hj Fatimah. Kita tahu bahwa ibadah haji waktunya terbatas. Ada rukun dan wajib haji yang harus ditunaikan dalam waktu tertentu.
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama mengenai bagian mana yang termasuk rukun dan mana yang wajib, setiap orang tentu ingin bisa menjalani ibadah hajinya secara sempurna.
Nah, halangan syar’i yang senantiasa menghantui kaum perempuan dalam beribadah haji, seperti dialami H Fatimah, adalah menstruasi. Sebuah siklus alami yang secara periodik dihadapi oleh setiap perempuan normal yang sudah baligh.
Masa haid antara perempuan satu dengan yang lain tidak sama. Ada yang tujuh hari, ada pula yang sampai lima belas hari. Jika rukun dan wajib haji itu baru dilakukan setelah suci, tentu saja sangat memberatkan, baik bagi dirinya maupun orang lain. Untuk jamaah yang datang dari Indonesia misalnya, ia terikat dengan rombongan transportasi pemulangan jamaah haji.
Sementara ini, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, ada yang menyiasati hal tersebut dengan menunda masa haid saat berhaji, dengan cara menggunakan obat-obatan. Persoalannya, bagaimana ketentuan hukum, juga dampak negatif yang akan ditimbulkannya secara medis?
Menanggapi hal ini, menarik untuk dikemukakan pendapat Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim periode 1995-2000, Drs Sudjari Dahlan. Menurut dia, penundaan haid bagi wanita yang berhaji dengan tujuan sekadar dapat melaksanakan rukun haji yang menetapkan suci sebagai syarat sahnya thawaf, hukumnya adalah mubah.
Kemubahan ini juga dilandasi alasan akan menimbulkan masaqqah (madharat) jika membiarkan haidnya. Sudjari merujuk pada hadits Aisyah ketika ia bersama Rasulullah hendak menjalani ihram haji, tiba-tiba datang bulan, dan oleh Rasulullah tetap disuruh melanjutkan.
Almarhum KH Mu’ammal Hamidy pernah menyatakan bahwa hal ini masuk pada kategori masalah duniawiyah, yang tidak ada penegasan hukumnya. Sehingga menurut kepada kaidah asalnya, yaitu al-aslu fil asy-ya’ al-ibahah, bahwa asal segala sesuatu itu boleh sepanjang tidak membawa madharat. Dalam konteks ini, madharat dari sisi kesehatan bagi yang bersangkutan. “Artinya, perlu ada kajian dari aspek kesehatan,” kata kiai yang pernah menjadi Wakil Ketua PWM Jatim.
Sementara dr Sukadiono menilai bahwa penundaan haid dengan menggunakan obat, tidak menimbulkan masalah. “Dari segi medis, perempuan yang menunda haid saat haji tidak ada masalah,” kata Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu seraya menambahkan bahwa memang setiap obat itu ada efek sampingnya. “Tapi efek samping pil penunda haid, minim sekali.”
Hanya saja, Sudjari Dahlan tetap memberikan catatan, obatnya harus dibuat dari bahan-bahan yang tidak haram untuk dikonsumsi. “Kalau terbuat dari barang yang haram, hukumnya jelas terlarang,” tegasnya. (*)
Oleh Ustadz H Nadjib Hamid MSi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.