PWMU.CO – Sebagai pegawai negeri, Asri (bukan nama sebenarnya) dikenal rajin dan biasa masuk kantor lebih pagi. Namun sudah sebulan ini, perempuan berjilbab itu tidak menampakkan diri. “Saya ndak berani, karena baru sebulan ditinggal wafat suami,” kata dia memberikan argumentasi.
Sikap perempuan ini didasarkan pada nasihat seorang kiai, bahwa sesuai tuntunan Alquran dan hadits Nabi SAW, wanita yang ditinggal mati suami, hendaklah tetap tinggal di rumah menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari, dan tidak boleh merias diri.
Tidak mudah bagi Asri menjalani fatwa ini. Pasalnya tiada tempat kerja yang mentoleransi seseorang cuti selama seratus tiga puluh hari. Bagai makan buah simalakama: dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Masuk kerja selama masa iddah bisa dinilai tidak Islami, tapi tidak kerja bisa menimbulkan problem ekonomi tersendiri. Problem Asri, boleh jadi menimpa kebanyakan Muslimah karir di masa kini, sehingga perlu ada solusi secara syar’i.
Kata ‘iddah berasal dari bahasa Arab: ‘adda ya‘uddu ‘iddah. Artinya, menghitung sesuatu. Kata tersebut telah diserap menjadi bahasa Indonesia. Menurut syara’ iddah berarti masa menunggu bagi perempuan yang dicerai oleh suami, baik cerai hidup maupun cerai mati, untuk tidak menikah lagi selama iddahnya belum selesai.
Bagi wanita cerai hidup, masa iddah-nya tiga kali masa suci dari haid (Albaqarah ayat 228). Namun bila dia adalah wanita yang tidak haid entah karena belum cukup usia atau lanjut usia, masa iddahnya tiga bulan. Sedangkan bila dalam kondisi hamil, masa iddahnya hingga lahir si bayi. Sedangkan wanita yang ditinggal mati suami, masa iddahnya empat bulan sepuluh hari (Albaqarah ayat 234).
Iddah antara lain bertujuan untuk memberi kesempatan bagi masing-masing pasangan agar rekonsiliasi (dalam kasus talak raj’i atau talak satu dan dua), meringankan beban ekonomi perempuan yang dicerai, berkabung atas kematian suami dan untuk mengetahui kebersihan rahim sang istri.
Para ulama berbeda pendapat mengenai wanita yang keluar rumah pada masa iddah. Ulama Hanafiyah menyatakan tidak membolehkan istri yang ditalak raj’i (tidak berlaku bagi isteri yang ditalak ba’in) keluar dari rumahnya, baik pada waktu siang hari maupun malam hari.
Pendapat tersebut didasarkan pada dhahir nash Alquran surat Albaqarah 234, dan hadits nabi, yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, bahwa Rasulullah pernah berpesan kepada seorang wanita yang ditinggal mati suami: “Tetaplah engkau tinggal di rumahmu yang di sana engkau menerima kabar kematian suamimu, hingga selesai kewajiban iddah-mu.”
Juga sebuah riwayat dari Ummu ‘Athiah: “Dahulu kami dilarang untuk berkabung selama lebih dari tiga hari atas kematian seseorang, kecuali atas kematian suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Kami tidak memakai celak dan wewangian”.
Sementara ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkannya keluar rumah karena adanya uzur atau kepentingan. Pendapat senada dikemukakan oleh KH Mu’ammal Hamidy. Almarhum yang pernah jadi Wakil Ketua PWM Jatim tersebut, perempuan yang dalam masa iddah boleh keluar rumah untuk kerja. “Yang penting tidak berhias secara berlebihan,” tandasnya.
Ditambahkan, bahwa ketika isteri ditinggal wafat suami, selain ada iddah juga ada ihdad. Menurut Mu’ammal Hamidy, Ihdad adalah masa berkabung, tidak berhias, dan tidak keluar rumah kecuali dharurat, seperti berobat, kerja, dan sebagainya.
Ringkasnya, wanita karir yang sedang menjalani masa iddah tetap boleh kerja, asalkan memperhatikan asas kepatutan, dan tidak berpenampilan secara berlebihan. Alasan pembatasan untuk tidak keluar rumah dan merias diri secara berlebihan bagi wanita yang sedang menjalani masa iddah, adalah dalam rangka menjaga privasinya, supaya terhindar dari segala fitnah. (*)
Oleh Ustadz H Nadjib Hamid MSi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.