PWMU.CO – Kawasan Teluk Persia dalam tiga bulan terakhir seperti perut gunung berapi yang sedang meronta-ronta untuk meletus. Perang antara Iran melawan AS dan sekutunya seolah tinggal menunggu waktu tak lama lagi.
Dipicu oleh langkah Presiden AS Donald Trump yang secara sepihak keluar dari perjanjian nuklir dan menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Iran tahun 2018. Ternyata Iran tidak gentar sama sekali. Malah mengancam meningkatkan industri nuklirnya.
Pesawat pengintai tanpa awak canggih Global Hawk milik AS seharga 176 juta dolar ditembak pasukan Iran pada 20 Juni 2019. Trump telah memerintahkan pasukannya menyerang Iran. Tetapi mendadak 10 menit sebelum peluit komando dititup, perintah dibatalkan.
Inggris yang sudah lama menjadi jongosnya AS memanaskan suasana dengan membajak pala tangker Iran di lepas pantai Gibraltar. Dibalas Iran dengan menahan kapal “Stena Impero” milik Inggris di Selat Hormuz.
Suasana semakin panas. Negara-negara Arab sekutu setia AS seperti Arab Saudi, UEA, ditambah Israel sudah gatal ingin AS dan Inggris segera menyerbu Iran. Bagi negara-negara Teluk, keberadaan Iran seperti pecahan beling yang mengganjal di kelopak mata.
Terakhir Inggris mau mengajak negara-negara Eropa untuk mengirim armadanya dengan dalih untuk pengawalan kapal-kapal niaga mereka. Intinya Inggris itu kebo gupak ajak-ajak artinya tidak mau kena akibat perang sendirian. Ingin melibatkan yang lain.
Mengapa Iran begitu gagah berani? Tanpa ada garansi dukungan dan perlindungan dari negara superpower seperti Rusia dan Tiongkok. Sekadar gertak sambal ataukah realistis? Jangan-jangan Iran tak bedanya dengan Presiden Irak Saddam Hussein yang ternyata cuma besar mulut doang.
Iran sudah memperhitungkan setiap langkahnya secara seksama. Bahkan bagaimana langkah detail berikutnya sudah diperhitungkan layaknya menggunakan cyber drone.
Imam Mahdi
Iran berpenduduk sekitar 86 juta, sekitar 80 persen Muslim bermazhab Syiah—pendukung Sayidina Ali bin Abi Thalib. Sejak Ali wafat dan kekuasaan umat Islam ada di tangan Bani Umayyah, umat Syiah tertindas. Demikian pula ketika kekuasaan di tangan Bani Abassiyah baik yang Muktazilah maupun Sunni, nasih umat Syiah tak berubah. Demikian pula sampai zaman Turki Ottoman atau Ustmaniyah.
Implikasi dari ketertindasan yang begitu lama, membuat Syiah bersikap queitisme atau kecenderungan untuk diam dan bersikap apolitis. Bahkan menjadi asketis layaknya pertapa.
Intelektual Iran terkemuka, Ali Syari’ati menulis, Islam yang bersifat revolusioner telah menjadi agama yang kental status quo. Ulama Syiah mendukung kemapanan yang kuat. Ulama menjadi sumber utama penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama, Islam menjadi agama “orang mati” yang tidak berdaya melawan orang-orang serakah.
Menurut Ali Syari’ati, ulama memiliki hubungan organik dengan kemewahan melalui kelas berharta atau borjuis. Ulama mengabsahkan eksploitasi yang lebih kejam dari pada kapitalisme. Di tangan ulama akhund (dangkal ilmunya), Islam telah menjadi khordeh-i burzuazi (borjuasi kecil).
Terjadilah titik balik di tahun 1979. Umat Syiah seperti gunung yang sudah lebih 1000 tahun tidur tiba-tiba meletus dahsyat yaitu dengan menggelar revolusi Islam Iran yang dipimpin ulama zuhud Ayatullah Khomeini.
Revolusi Islam Iran meniru pola revolusi Islam Rasulullah. Di antara platform-nya revolusi harus pada ruhnya, isinya. Tidak seperti banyak negara yang revolusi hanya kulitnya atau dhahirnya. Islam harus berdiri di kaki sendiri. Sekalipun saat itu ada dua superpower Romawi dan Persia, tapi Nabi Muhammad tidak pernah minta perlidungan atau bersekutu dengan mereka. Mandiri secara ekonomi, politik, dan militer.
Jalurnya sudah jelas bahwa Iran dibangun untuk menyambut kedatangan Imam Mahdi dan menjadi pengikut setianya. Kekuatan militernya dibangun untuk menghadapi Malhamah Kubro (perang akbar).
Imam Mahdi adalah pemimpin umat mukminin. Bukan hanya Syiah. Untuk itulah Iran menghindari permusuhan dengan mazhab lain. Tidak mau masuk pusaran polemik furuiyah baik di internal Syiah maupun dengan mazhab lain yang sudah berabad-abad. Polemik furuiyah itu menghabiskan energi, memperpanjang permusuhan internal Islam, dan siasat musuh Islam untuk mengadu domba.
Sesuai eskatologi Islam yang didasarkan pada hadits, Imam Mahdi nanti akan perang dengan Masihid-Dajjal. Dajjal adalah Al Masih versi zionis Israel yang didukung zionis Kristen dan zionis Muslim. Inilah yang melatarbelakangi mengapa Iran bersikap sangat keras dan konsisten menentang Israel. Membantu faksi-faksi yang melawan Israel seperti Hezbullah, Hamas yang Sunni.
Malhamah Kubra
Imam Mahdi tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa akhir zaman yang mesti terjadi yaitu Malhamah Kubra atau perang besar antara kekuatan iblis melawan kekuatan Allah. Iran sudah memperhitungkan Israel bersama sekutunya yang akan jadi musuhnya. Untuk itulah kekuatan militernya disiapkan untuk Malhamah Kubra. Jangan heran kalau Iran sekarang mandiri dalam penyediaan alutsista.
Daily Express, Sabtu (27/7/19) menuliskan, Iran memiliki personil militer sebanyak 873.000 orang. Sebanyak 40 juta penduduknya layak untuk menjadi tentara. Dan salah satu kelompok yang paling ditakuti adalah Pasdaran. Mereka adalah milisi pengawal ulama. Untuk menjadi Pasdaran harus hafal Alquran.
Kekuatan darat memiliki 1.634 tank tempur, memiliki lebih banyak artileri self-propelled, artileri derek dan proyektor roket. Untuk laut, total aset angkatan laut Teheran, yang mencakup semua kapal yang tersedia termasuk tambahan, berjumlah 398. Iran memiliki pesawat tempur 509 termasuk buatan sendiri. Iran merupakan negara dengan kekuatan militer nomor 14 di dunia.
Kekuatan militer Iran ini memang tidak ada apa-apanya dibanding AS dan sekutunya. Tapi mengapa AS dan sekutunya seperti mati kutu? Bisa jadi AS masih percaya dengan jenderal AS legendaris, Jenderal McAthur bahwa pertempuran ditentukan oleh the man behind the gun, manusia di belakang senjata.
Tentara dan rakyat Iran memiliki moral perang yang sangat kuat. Terbukti ketika perang delapan tahun melawan Irak zaman Saddam Hussein, bayi revolusi Iran ternyata mampu bertahan. Tentara Iran selalu berlatih di medan nyata seperti Syuriah, Yaman, Lebanon, atau Irak. Tentu saja di atas segala-galanya adalah ideologi perang Iran yaitu syahid. Inilah yang paling ditakuti. Dan setiap api perang yang dikobarkan oleh Israel dan sekutunya adalah awal Malhamah Kubra.
Maka jangan heran kalau mantan anggota parlemen Inggris, George Galloway memperingatkan Amerika Serikat dan sekutunya di Teluk bahwa jika mereka menyerang Iran sama dengan membuka gerbang neraka. Sama saja memantik Perang Dunia III atau Malhamah Kubro. Allahu a’lam bisshawab. (*)
Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.