PWMU.CO – Husnun N Djuraid—wafat 4 Agustus 2018 dalam usia 60 tahun—adalah wartawan yang menjalani “laku jurnalisme”.
Laku adalah terminologi Jawa untuk seseorang yang sedang menempuh jalan pengekangan diri (self-restrain) untuk mencapai tujuan-tujuan spritualitas. Dalam hal laku jurnalisme, sang jurnalis mempunyai tujuan transendental, ukhrawiah melalui laku.
Bagi Husnun, jurnalisme bukan sekadar profesi untuk memperjuangkan idealisme ataupun demokrasi yang bersifat profan. Jurnalisme bagi Husnun menjadi sarana untuk mencapai tujuan-tujuan transendental, ukhrawiah.
Dalam tulisan-tulisannya yang tersebar di banyak media laku transendental Husnun sangatlah kental. Dia memakai jurnalisme sebagai sarana memenuhi kewajiban kemanusiaannya untuk menjalankan amar makruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan, mencegah keburukan.
Jurnalisme dalam praktik Husnun, adalah jurnalisme profetik yang bersifat kenabian dengan menerapkan empat strategi dakwah kenabian tabligh (komunikatif), amanah (trustworthy, terpercaya), fatanah (cerdas), dan sidiq (membawa kebenaran).
Di Amerika wartawan menjalankan tugasnya untuk memenuhi hak masyarakat untuk tahu “people’s right to know”, sebagai bagian dari proses demokrasi. Wartawan Amerika (dan Eropa) menjalankan profesinya sebagai bagian dari pengamalan hak konstitusi terutama First Amandment dalam konstitusi Amerika, yaitu memenuhi hak publik untuk mendapatkan kebebasan berekspresi dan memperolah berita.
Jurnalis dan media di barat adalah bagian dari the fourth pillar of democracy, pilar keempat demokrasi dalam sistem Trias Politika Montesquieu untuk memastikan terjadinya check and balance antara tiga pilar; eksekutif, legislatif, dan judikatif. Media menjadi watch dog, anjing penjaga, untuk menggonggongi penyimpangan kekuasaan, abuse of power, dari ketiga lembaga itu.
Dalam hal ini tujuan jurnalisme Barat adalah profan, duniawiah semata karena didasari hanya oleh pandangan materialisme dan rasionalitas.
Janet E. Steele, profesor jurnalistik dari George Washington University, melakukan penelitian paralel di tiga negara; Amerika Serikat, Malaysia, dan Indonesia melibatkan wawancara mendalam dengan puluhan wartawan dan studi kepustaan yang ekstensif, hasilnya dituangkan dalam buku Mediating Islam; Cosmopolitan Journalism in Muslim South East Asia. Dia menyimpulkan bahwa jurnalis Barat mempunyai tujuan yang profan sedangkan jurnalis Indonesia dan Malaysia umumnya mempunyai tujuan transendental, ukhrawiah.
Steele menemukan bahwa motivasi jurnalis Amerika yang paling utama adalah pemenuhan dan pelaksanaan hak-hak demokrasi. Sedangkan wartawan Muslim di Indonesia dan Malaysia menemukan motivasinya untuk menjalankan peran utama sebagai umat terbaik “khairu ummah” dan menerapkan amar ma’ruf nahi munkar.
Di Indonesia Steele melakukan penelitian terhadap tiga media; Majalah Sabili, Republika, dan Tempo. Ketiga objek penelitian itu dipilih untuk mewakili “tiga media Islam” dalam kuadran yang berbeda. Sabili pada masa terbitnya sejak awal reformasi sampai 2013 mewakili suara Islam skripturalis dan Republika bersama Tempo oleh Steele digolongkan dalam media yang memperjuangkan Islam kosmopolitan yang lebih mondial, moderat, modern (orang-orang Tempo tidak sepakat dengan penggolongan ini).
Meskipun memperjuangkan mazhab Islam yang berbeda tapi para jurnalis sama-sama dimotivasi oleh spirit amar makruf nahi munkar, dan dorongan untuk menyampaikan kebenaran meskipun hanya satu ayat (ballighu ‘anni walau ayatan). Majalah Sabili melakukannya dengan tujuan penerapan syariah dalam bernegara, sedangkan Republika dan Tempo ingin menciptakan masyarakat madani yang islami, Islam rahmatan lil alamin.
Parni Hadi, mantan pemimpin redaksi Republika menyebutnya sebagai “Jurnalisme Profetik” (2014) jurnalisme kenabian yang dijiwai oleh spirit dakwah Nabi Muhammad SAW yaitu tabligh, sidiq, fatanah, dan amanah.
Dalam hal menjalankan etika jurnalistik Steele menyebut jurnalis Muslim Indonesia didasari oleh konsep tabayun, check and recheck, disiplin verifikasi, dari Alquran surat Alhujurat ayat 6, tidak melakukan fitnah dan berita insinuatif Alhuhurat ayat 11-12.
Pasal-pasal dalam kode etik jurnalistik memperoleh legitimasi profetik dari ajaran Alquran.
Husnun menjalani jurnalisme profetik sebagai bagian dari kewajiban keimanan yang dia lakukan 24 jam dalam hidupnya. Husnun tidak hanya berdakwah melalui laku jurnalisme, tapi sekaligus laku pribadi. Dia adalah jurnalis yang dalam terminologi Gramsci masuk dalam kategori “jurnalis organik” yang menjadikan laku jurnalisme sebagai laku moral-agama selama 24 jam.
Pada sepertiga malam Husnun memanfaatkan platfrom aplikasi Whatsapp untuk mendakwahkan shalat malam. Pada malam-malam Senin dan Kamis Husnun mendakwahkan puasa sunnah. Pada pagi hari saat matahari naik Husnun mendakwahkan shalat Dhuha.
Husnun konsisten memegang etika jurnalisme yang didasari oleh kode etik jurnalistik dan spirit qurani. Husnun tidak menulis fitnah dan insinuasi, apalagi hoax karena kesadaran qurani.
Di tengah tsunami informasi, banjir hoax, serta degradasi profesi jurnalis, kepergian Husnun adalah sebuah kehilangan yang menyesak dada. (*)
Kolom oleh Dhimam Abror Djuraid, dosen Stikosa-AWS