PWMU.CO – Tokoh revolusioner Iran, Ali Shariati (1933-1977), dalam Hajj (The Pilgrimage), menyebut ibadah haji laksana sebuah pertunjukan kolosal. Hal itu karena ibadah haji melibatkan jutaan umat Islam dari penjuru dunia. Dalam pertunjukan itu, Allah SWT bertindak sebagai sutradara. Tokoh-tokoh yang harus diperankan adalah Adam, Ibrahim, Hajar, Ismail, dan setan.
Lokasi utamanya adalah Masjid Haram, Masjid Nabawi, Tanah Haram, Ka’bah, Shafa, Marwah, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan tempat bersejarah lainnya. Simbol-simbol penting yang perlu diingat adalah siang, malam, matahari terbit, matahari tergelincir, matahari terbenam, berkurban, tahallul (mencukur rambut), dan berhala. Baju kebesaran yang harus dipakai adalah pakaian ihram. Pemain utama dari pertunjukan akbar itu adalah jamaah haji sendiri.
Figur sentral dalam pertunjukan akbar tersebut tentu saja adalah Nabi Ibrahim. Hal itu berarti sesungguhnya para jamaah haji sedang bermain peran, yakni memerankan karakter Nabi Ibrahim. Lakon yang dimainkan adalah perjalanan rohani Nabi Ibrahim dan keluarganya hingga mencapai kesempurnaan hidup sebagai hamba Allah.
Pertanyaannya, apakah setiap jamaah haji berhasil menjalankan peran dengan baik? Jawabannya jelas berpulang pada kemampuan jamaah haji dalam menghayati peran masing-masing.
Tetapi umumnya jamaah haji berhasil memerankan perannya dengan baik. Buktinya, tidak pernah terdengar ada jamaah haji yang “kapok” berkunjung ke Baitullah. Yang terjadi justru sebaliknya, selalu muncul kerinduan untuk berkunjung kembali ke Tanah Suci sebagai tamu Allah (wafdullah). Jika dilakukan dengan penuh penghayatan, maka rangkaian ibadah haji pasti mengantarkan setiap jamaah dalam kehidupan yang diwarnai kesadaran mengenai keberadaan Allah.
Kakbah (Baitullah) yang mengarah ke semua penjuru melambangkan bahwa Allah berada dimana pun. Tatkala kesadaran itu muncul dari tamu-tamu Allah, mereka pasti termotivasi untuk mencium hajar aswad atau minimal melambaikan tangan ke arah Kakbah.
Saat itulah setiap jamaah haji merasakan kedekatannya dengan Allah. Tanpa disadari air mata pun tumpah sebagai wujud rasa syukur karena dapat memenuhi panggilan Allah untuk berkunjung ke Kakbah.
Rangkaian ibadah haji pasti memberikan pengalaman rohani yang tak terlupakan. Selalu terbayang tatkala mengelilingi Kakbah (thawaf), berjalan mondar-mandir antara Bukit Shafa dan Marwa (sa’i), berkumpul di Arafah (wuquf), melontar dengan batu-batu kecil (jumrah), bermalam (mabit) di Muzdalifah dan Mina, menggunting atau mencukur rambut (tahalul), dan mencium batu hitam (hajar aswad).
Jika rangkaian ibadah haji tidak dipahami dalam konteks menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah, maka jamaah hanya akan mendapati ibadah haji seperti permainan yang membosankan.
Keseluruhan prosesi ibadah haji memberikan penekanan mengenai pentingnya ajaran tauhid, kemanusiaan, dan kepercayaan pada Hari Akhir. Pelajaran tauhid menekankan pentingnya penghayatan dalam keseluruhan amalan ibadah haji. Tanpa penghayatan, ibadah haji pasti tidak akan memiliki banyak arti bagi upaya untuk memperbaiki jiwa manusia.
Tanpa pondasi niat yang tulus dan ikhlas karena Allah, ibadah haji akan terasa laksana perjalanan wisata yang tak bermakna. Melalui lurusnya niat dan dengan berbekal takwa, jamaah haji akan memperoleh pengalaman keagamaan yang mendalam.
Keyakinan yang benar terhadap tauhid pasti akan melahirkan kesadaran bahwa semua manusia adalah sama derajatnya di hadapan Allah. Inilah ajaran mendasar Islam mengenai kemanusiaan. Melalui ibadah haji kita diajarkan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ajaran itu tercermin melalui pakaian ihram yang digunakan jamaah haji. Dengan berpakaian ihram, kesamaan antar pribadi menjadi sangat terasa. Sementara dengan berpakaian “biasa” manusia seringkali masih menunjukkan perbedaan status sosial.
Dengan mendasarkan pada ajaran tauhid dan kemanusiaan, maka setiap pribadi Muslim, termasuk jamaah haji, berkewajibkan untuk menegakkan keadilan. Tetapi, kita seringkali menyaksikan bahwa di dunia ini keadilan begitu sulit ditegakkan. Ketakadilan dan ketakjujuran dengan mudah dapat dijumpai dimana-mana. Tatkala neraca keadilan sulit ditegakkan di dunia, maka kita membutuhkan alam akhirat. Karena itu, kepercayaan pada Hari Akhir merupakan ajaran yang sangat fundamental.
Hari Akhir itu penting untuk tegaknya keadilan. Pada saat itulah Allah akan membalas seluruh amalan manusia. Allah Yang Maha Adil sendiri yang bertindak sebagai hakim. Jika Allah yang menjadi hakim, pertanyaannya; dengan apa kita mau menyogok dan menyuap? Bukankah Allah Dzat Yang Maha Kaya? Allah berfirman bahwa pada Hari Akhir nanti seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun. Juga tidak diterima syafa’at dan tebusan dari padanya (Albaqarah ayat 48). Yang akan menjadi syafa’at (penolong) adalah amal ibadah kita tatkala hidup di dunia. (*)
Kolom oleh Dr Biyanto MA, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Discussion about this post