اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ كَتَبَ عَلَيْنَا الْحَجَّ، وَجَعَلَهُ مُكَفِّرًا لِلذُّنُوْبِ وَاْلآثَامِ، صَغَائِرُهَا وَكَبَائِرُهَا الَّتِيْ تَدَنَّسْنَا فِى مُمِرِّ اْلأَيَّامِ، فَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْمَلِكُ الْعَلاَمُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ وَاْلآنَامِ، فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْكِرَامِ، وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى خَيْرِ مَايُرَامُ
أَمَّا بَعْدُ. فَيَا مَعَاشِرَ الْحَاضِرِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
PWMU.CO – Allahu Akbar Allahu Akbar, Walillahi al-Hamd. Hadirin yang dirahmati Allah.
Pada pagi yang penuh rahmat ini, marilah kita panjatkan puji dan syukur pada Allah SWT. Dengan kasih dan sayang-Nya, Allah telah menganugerahkan begitu banyak nikmat pada kita seperti kesehatan, kesempatan, dan hidayah.
Dikatakan dalam Alquran jika kita mau bersyukur, maka Allah pasti akan menambah nikmat-Nya. Sebaliknya, jika kita mengingkari nikmat-Nya, maka diingatkan bahwa siksa Allah sangat pedih. (Ibrahim ayat 7).
Sebagai wujud rasa tasyakur atas limpahan nikmat Allah itulah, pagi ini kita menunaikan shalat Idul Adha secara berjamaah. Hal itu sejalan dengan ajaran agama yang menekankan bahwa rasa syukur itu harus ditunjukkan melalui kesediaan kita menggunakan nikmat untuk beribadah kepada Allah.
Ada tiga dimensi yang menunjukkan pengertian dari kata syukur. Pertama, bersyukur dengan hati, berarti menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah anugerah Allah. Syukur dengan hati akan mengantarkan kita pada sikap penuh kerelaan terhadap nikmat Allah betapa pun kecil pemberian itu.
Kedua, bersyukur dengan lisan, berarti mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah. Syukur jenis ini juga mengharuskan seseorang untuk menyadari bahwa Allah Maha Pemurah dan Kasih pada kita sehingga secara tulus terlontar ucapan bernada pujian, al-hamdulillah, segala pujian hanya milik Allah.
Ketiga, bersyukur dengan perbuatan, berarti menggunakan nikmat yang diperoleh sesuai dengan tujuan pemberiannya. Itu berarti setiap pribadi dituntut untuk merenungkan tujuan dianugerahkan nikmat oleh Allah.
Allahu Akbar Allahu Akbar, Walillahi al-Hamd. Hadirin yang dirahmati Allah.
Berhaji ke Baitullah merupakan idaman bagi setiap pribadi Muslim. Orang yang menunaikan ibadah haji berarti telah menyempurnakan rukun Islam. Kesempurnaan dalam beragama jelas memberikan kepuasan batin tersendiri. Apalagi jika ibadah haji yang dijalankan berhasil mengantarkan seseorang pada derajat haji mabrur, haji yang diterima Allah.
Ibadah haji juga selalu memberikan pengalaman keagamaan yang terasa begitu mendalam. Karena itulah ibadah haji senantiasa dirindukan oleh setiap pribadi Muslim. Bahkan bagi yang sudah pernah berhaji sekalipun, hasrat berkunjung ke Baitullah untuk yang kesekian kalinya pasti selalu muncul.
Allah memanggil para jamaah haji dengan sebutan tamu Allah (wafdullah). Panggilan ini terasa begitu menyentuh hati nurani kita sebagai pribadi Muslim. Dengan panggilan sebagai tamu Allah berarti Allah sendiri yang menjadi tuan rumah.
Karena itulah dikatakan bahwa jamaah haji berkunjung ke rumah Allah (Baitullah [Kakbah]). Itu berarti bahwa sebagai tuan rumah, Allah yang akan menyambut, melayani, dan memberikan rasa aman bagi para jamaah haji. Berkaitan dengan keistimewaan jamaah haji sebagai tamu Allah, Rasulullah SAW bersabda:
اَلْحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللَّهِ إِنْ دَعَوْهُ أَجَابَهُمْ وَإِنِ اسْتَغْفَرُوهُ غَفَرَ لَهُمْ
Orang yang berhaji dan berumrah (ke Baitullah) adalah tamu Allah, jika mereka berdoa dikabulkan Allah, dan jika mereka meminta ampun diampuni Allah (HR Al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).
Dalam sabda yang lain, Rasulullah juga menyatakan bahwa haji yang mabrur itu, pahalanya tiada lain kecuali surga. Disebutkan pula bahwa pahala orang yang berhaji itu sama dengan berjihad di jalan Allah (fi sabilillah). Karena itu dapat disimpulkan bahwa haji merupakan ibadah yang sangat mulia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Siapa yang mengerjakan haji, tidak melakukan hal-hal yang rafats (berkata yang tidak senonoh sehingga menimbulkan birahi atau berkaitan dengan seks) dan tidak pula fusuq (melanggar peraturan haji), maka ia kembali suci dari dosa bagai ia lahir dari ibunya (HR Bukhari, Muslim, dan Nasa’i).
Beberapa keutamaan yang dikemukakan dalam sabda Rasulullah SAW itu telah memberikan keyakinan bahwa haji merupakan ibadah yang sangat penting. Karena itu tidak mengherankan jika akhir-akhir ini kita menyaksikan bahwa ada peningkatan yang luar biasa dari umat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Itu terlihat dari daftar panjang antrean calon jamaah haji. Bahkan di beberapa daerah, antrean untuk berangkat ibadah haji itu mencapai 25-30 tahun.
Antrian panjang calon jamaah haji merupakan fenomena yang patut disyukuri. Sebab, itu berarti kesadaran dalam beribadah di kalangan umat mengalami peningkatan. Di samping itu, kesejahteraan umat juga menunjukkan perbaikan yang antara lain diwujudkan melalui kemampuan untuk melunasi biaya ibadah haji.
Bahkan tidak hanya biaya, ibadah haji juga mempersyaratkan kemampuan fisik, kesiapan mental spiritual, dan jaminan keamanan. Karena persyaratan yang begitu ketat maka Allah menyatakan bahwa ibadah haji itu hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu melaksanakan perjalanan ke Baitullah. Allah berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta (Ali Imran ayat 97).
Pesan selanjutnya dari Allah untuk jamaah haji adalah agar datang dengan membawa bekal yang cukup. Berdasar bekal yang dibawa itulah kelak Allah akan menentukan tingkatan layanan yang diberikan. Rumah Allah (Baitullah) yang tanpa warna warni menunjukkan kesederhanaan.
Namun, bangunan Kakbah yang sederhana itu mengarah ke mana saja. Dengan demikian, para jamaah haji dapat masuk dari arah mana pun dan Allah pasti akan menerimanya. Syaratnya, para jamaah haji itu membawa bekal.
Allah pun menjelaskan sebaik-baik bekal yang dibawa jamaah haji adalah takwa. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa takwa merupakan kumpulan dari nilai-nilai keagamaan yang mencakup pengetahuan, ketabahan, keikhlasan, kesadaran akan jati diri, serta persamaan dan kelemahannya di hadapan Allah. Allah berfirman:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي اْلأَلْبَابِ
Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal (Albaqarah ayat 197).
Allahu Akbar Allahu Akbar, Walillahi al-Hamd. Hadirin yang dirahmati Allah.
Secara keseluruhan ibadah haji itu tidak dapat dilepaskan dari figur Nabi Ibrahim. Apa yang dijalankan para jamaah haji adalah dalam rangka menapaktilasi apa yang dulu pernah dilaksanakan Nabi Ibrahim. Dengan demikian, ibadah haji tidak dapat dipahami secara baik jika kita tidak mengenal sosok Nabi Ibrahim dan keistimewaan yang dimilikinya.
Profesor Quraish Shihab dalam Lentera Hati (2000) menjelaskan bahwa ada tiga macam keistimewaan yang dimiliki Nabi Ibrahim dan sekaligus dicerminkan dalam ibadah haji.
Pertama, Ibrahim menemukan Tuhan melalui pencarian dan pengalaman ruhani yang luar biasa. Karena itu dalam sejarah agama-agama, Ibrahim dikenal sebagai Bapak Monoteisme. Artinya, Ibrahim berperan penting mengajarkan nilai-nilai tauhid dalam kehidupan. Pengalaman ruhani Ibrahim tatkala menemukan pelajaran tauhid itu secara metaforis dapat dibaca dalam Alquran surat Al-An’am ayat 76-79.
Dikisahkan dalam ayat tersebut, bahwa pada malam yang gelap gulita, Ibrahim melihat bintang, lalu ia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka pada yang tenggelam.”
Selanjutnya Ibrahim melihat bulan terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”
Kemudian tatkala melihat matahari terbit, Ibrahim berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: ”Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutuan.”
Akhirnya, pengembaraan spiritual Ibrahim pun terhenti dan sampai pada kesimpulan mengenai ke-Mahaesa-an Allah. Ibrahim pun berkata: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku pada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Selain yang terekam dalam Alquran, juga dikisahkan bahwa telah terjadi perdebatan sengit antara Ibrahim dengan penguasa pada masanya. Penguasa pada masa itu, yang menyembah api, berkata pada Ibrahim: “Jika engkau enggan menyembah patung, mengapa tidak menyembah api?”
Ibrahim menjawab: “Bukankah air dapat memadamkannya?”
Penguasa pun berkata: “Kalau begitu mengapa tidak menyembah air?”
Ibrahim menjawab: “Bukankah awan yang mengandungnya lebih layak disembah?”
Penguasa pun berkata: “Kalau demikian sembahlah awan!”
Ibrahim menjawab: “Angin yang menggiring awan lebih kuasa!”
Penguasa pun berkata: “Kalau demikian mengapa tidak menyembah angin?”
Ibrahim menjawab: “Manusia yang menghembuskan awan dan menariknya lebih layak!”
Dialog itu pun terhenti, karena terasa cukup bukti bahwa manusia apabila mau merenung dan berpikir dengan cermat pasti akan sampai pada keyakinan tentang keesaan Tuhan. Jika dalam sejarah peradaban umat manusia dari dulu hinggi kini telah ada sekian banyak temuan, rasanya “penemuan” Ibrahim mengenai paham yang me-Mahaesa-kan Tuhan dapat dipandang sebagai temuan terbesar.
Ajaran ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) yang dikumandangkan Ibrahim jelas sangat fundamental. Tuhan yang dimaksud Ibrahim adalah Tuhan sekalian alam, bukan Tuhan satu ras atau bangsa, juga bukan Tuhan yang terbatas untuk satu periode tertentu.
Kedua, melalui Ibrahim kebiasaan mengorbankan manusia sebagai sesaji atau tumbal dibatalkan oleh Allah. Tentu bukan karena manusia terlalu mulia untuk dikorbankan, melainkan karena rahmat dan kasih sayang Allah. Sebab, jika Allah telah berkehendak maka apa pun yang ada pada kita harus diserahkan. Harta benda, jabatan, keluarga, bahkan nyawa kita sekalipun, jika Allah telah meminta maka harus diikhlaskan.
Mengenai kisah penyembelihan Ismail oleh Ibrahim dapat kita baca dalam Alquran surat Ashshaffat ayat 100-107. Dikisahkan dalam rangkaian ayat ini, bahwa setelah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismail, maka Allah melarang menyembelih Ismail. Untuk meneruskan korban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing).
Selanjutnya, peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya kurban yang sangat dianjurkan pada setiap hari raya haji. Berkaitan dengan pentingnya ibadah kurban ini Nabi Muhammad bersabda:
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ
Tidak ada pekerjaan anak Adam yang paling disenangi Allah pada hari ‘Idul Adlha selain menumpahkan darah [menyembelih hewan kurban] (HR At-Tirmidzi).
Ketiga, Ibrahim merupakan satu-satunya nabi dan rasul yang bermohon pada Allah agar ditunjukkan cara membangkitkan kembali orang-orang yang sudah mati. Dan, permohonan Ibrahim pun dikabulkan oleh Allah. Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu.” (Allah berfirman): “Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. Dan, ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Albaqarah ayat 260).
Menurut Abu Muslim al-Ashfahani, pengertian ayat di atas adalah bahwa Allah memberikan penjelasan kepada Ibrahim tentang cara Dia menghidupkan orang-orang yang sudah mati.
Ibrahim disuruh mengambil empat burung lalu memeliharanya dan menjinakkannya hingga burung itu dapat datang seketika apabila dipanggil. Kemudian burung-burung yang sudah pandai itu diletakkan di atas tiap-tiap bukit seekor. Lalu burung-burung itu dipanggil dengan satu tepukan, niscaya burung-burung itu akan datang dengan segera meskipun tempatnya terpisah-pisah dan berjauhan.
Demikianlah cara Allah membangkitkan orang yang sudah mati yang tersebar dimana-mana dengan kalimat; “hiduplah kamu semua”, maka pastilah mereka itu hidup kembali.
Allahu Akbar Allahu Akbar, Walillahi al-Hamd. Hadirin yang dirahmati Allah.
Keseluruhan prosesi ibadah haji memberikan penekanan mengenai pentingnya ajaran tauhid, kemanusiaan, dan kepercayaan pada Hari Akhir. Pelajaran tauhid menekankan pentingnya penghayatan dalam keseluruhan amalan ibadah haji. Tanpa penghayatan, ibadah haji pasti tidak akan memiliki banyak arti bagi upaya untuk memperbaiki jiwa manusia.
Tanpa fondasi niat yang tulus dan ikhlas karena Allah, ibadah haji akan terasa laksana perjalanan wisata yang tak bermakna. Maka, lurusnya niat dan dengan berbekal takwa, jamaah haji akan memperoleh pengalaman keagamaan yang mendalam.
Keyakinan yang benar terhadap tauhid pasti akan melahirkan kesadaran bahwa semua manusia adalah sama derajatnya di hadapan Allah. Inilah ajaran mendasar Islam mengenai kemanusiaan. Melalui ibadah haji kita juga diajarkan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Itu di antaranya dicerminkan melalui pakaian ihram yang digunakan jamaah haji. Dengan berpakaian ihram, kesamaan antar pribadi menjadi sangat terasa. Semetara dengan berpakaian “biasa” manusia seringkali masih menunjukkan perbedaan status sosial.
Pakaian biasa juga memberikan efek psikologi yang dapat membuat jarak antar pribadi. Itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam mengenai persamaan antar umat manusia.
Dengan mendasarkan pada ajaran tauhid dan kemanusiaan maka setiap pribadi Muslim, termasuk jamaah haji, berkewajibkan untuk menegakkan keadilan. Tetapi, kita sering menyaksikan bahwa di dunia ini keadilan ternyata begitu sulit ditegakkan.
Ketakadilan dan ketakjujuran malah dengan mudah dapat kita jumpai di mana-mana. Tatkala neraca keadilan sulit ditegakkan di dunia ini maka kita membutuhkan alam akhirat. Pada konteks inilah keyakinan bahwa Hari Akhir pasti datang merupakan kepercayaan yang sangat fundamental.
Hari Akhir itu penting untuk tegaknya keadilan karena pada saat itu Allah akan membalas seluruh amalan umat manusia. Bahkan Allah Yang Maha Adil sendiri yang akan bertindak sebagai hakim. Jika Allah yang menjadi hakim, pertanyaannya; dengan apa kita mau menyogok dan menyuap? Bukankah Allah Dzat Yang Maha Kaya? Karena itulah Allah menyatakan bahwa pada Hari Akhir nanti seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun. Juga tidak diterima syafa’at dan tebusan dari padanya (Albaqarah ayat 48). Yang akan menjadi syafaat (penolong) adalah amal ibadah kita tatkala hidup di dunia.
Allahu Akbar Allahu Akbar, Walillahi al-Hamd. Hadirin yang Dirahmati Allah.
Akhirnya, marilah kita bermunajat kepada Allah dengan harapan agar saudara-saudara kita yang pada tahun ini berkesempatan menjadi tamu Allah dapat menjalankan ibadah dengan baik, diberikan kesehatan, dan pulang kembali ke kampung halaman dengan memperoleh derajat haji mabrur.
Sementara yang belum berkesempatan diundang Allah untuk berkunjung ke Baitullah, semoga pada saatnya akan menjadi tamu Allah. Marilah kita akhiri khutbah Idul Adlha ini dengan berdoa kepada Allah SWT. (*)
Oleh Dr H Biyanto MA, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.