PWMU.CO – Ada pertanyaan yang menarik, kenapa yang dikorbankan Nabi Ibrahim adalah anaknya: Ismail; bukan istrinya, Sarah atau Hajar?
Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan untuk Nabi Nuh. Kenapa yang dipanggil untuk naik kapal adalah anaknya. “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami, dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (Hud ayat 42). Kenapa bukan Istrinya?
Bisa jadi, ini mengindikasikan bahwa kecintaan terhadap anak jauh melebihi kecintaan terhadap istri. Ada istilah mantan istri, tetapi tidak ada istilah mantan anak. Karena anak adalah bagian dari darah daging kita.
Anak dan Istri merupakan bagian dari keluarga kita. Keduanya juga bagian dari kebahagian dan kesenangan (mataa’) dunia. Secara fitrah, manusia memiliki kecintaan terhadap dunia, Alquran menjelaskan ada delapan kecintaan manusia terhadap dunia:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang, itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali Imran ayat 14)
Bolehkah mencintai kedelapan kesenangan dunia itu? Tentu saja boleh. Akan tetapi orang-orang yang beriman jauh lebih mencintai Allah. “Walladziina Amanu Ashaddu Hubban Lillah” (Albaqarah ayat 165).
Masih ingatkah kita ketika masa muda dulu? Atau bahkan ketika masih jadi manten baru? Apapun dilakukan demi istri kita, demi pasangan kita, demi kekasih kita, bahkan seakan-akan dunia milik berdua, yang lain ngontrak. Sampai ada istilah: Seberapa pun tinggi gunung akan aku daki, sedalam apapun samudra akan aku sebrangi.
Bagaimanapun dan sebesar apapun kecintaan kita terhadap dunia (istri, anak, saudara, keluarga, barang-barang berharga seperti: emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, perdagangan, rumah) jangan sampai kecintaan terhadapnya melebihi kecintaan kita terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Allah memberi peringatan dalam firmanNya: “Katakanlah, jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu kuatirkan kerugiannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya, serta jihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusanNya, dan Allah tidak memberi petunjuk bagi orang yang fasik.” (Attaubah ayat 24).
Jika kecintaan kita terhadap dunia melebihi kecintaan kita kepada Allah dan Rasulnya serta jihad di jalan Allah, maka Allah mengatakan “fatarabbasu” tunggulah! Apa yang ditunggu? “Hatta yaktiyallahu bi amrih.” Menunggu sampai datangnya keputusan dari Allah.
Keputusan apakah yang ditetapkan? Jika Allah berkehendak, apapun bisa terjadi. Kaya raya tiba-tiba jatuh miskin dalam waktu sepersekian detik sangat mudah. Sehat wal afiat, dalam waktu sekejap mata, tiba-tiba menderita stroke mendadak, juga tidak mustahil.
Semua bisa terjadi karena kehendak Allah. Maka jika kita menduakan Allah. Bersiaplah menunggu ketetapan Allah.
Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menjadi pelajaran yang sangat berharga. Bahwa kecintaan terhadap Allah dan Rasulnya harus melebihi kecintaan pada lainnya.
Apapun itu, bagaimanapun keadaannya, dahulukan Allah. Minta tolonglah kepada Allah. Berharaplah kepada Allah. Karena Allah-lah kekasih sejati kita.
Kekasih di rumah adalah kekasih kesekian. Anak di rumah merupakan kecintaan yang kesekian. Harta yang kita miliki adalah kebahagiaan kesekian. Karenanya, cintailah keluargamu sewajarnya, jangan berlebihan mencintai keluargamu, cinta utama kita hanya untuk Allah dan Rasul-Nya. (*)
Kolom oleh M. Arfan Mu’ammar, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya.