PWMU.CO – Ibadah kurban itu mengandung makna moral di antaranya adalah jangan hanya binatang yang disembelih tetapi sembelih juga sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri kita.
Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Situbondo Dr H. Munawar MPdI menyampaikan hal itu saat menjadi khatib shalat Idul Adha 1440 H di Lapangan Zakunar Kompleks Perumahan Panji Permai, Desa Mimbaan Kecamatan Panji Situbondo, Ahad (11/08/19).
Dia mengatakan, binatang kalau makan tidak peduli ini rumput punya siapa. Bahkan tidak peduli apakan ini rumput atau tanaman yang ditanam oleh petaninya. “Manusia yang diberi bekal oleh Allah akal pikiran dan petunjuk agama tidak boleh mengambil sesuatu secara sembarangan seperti binatang tadi,” ujarnya.
Binatang juga ada yang punya sifat malas. Tidur seharian malam-malam bangun lapar mencari makan. Atau sebaliknya, tidur semalaman, kemudian kalau lapar bangun pagi atau siang mencari makan. Setelah itu tidur lagi. Jangan bicara ibadah untuk binatang, karena binatang ditakdirkan seperti itu.
Kita semua harus menyembelih sifat kebinatangan yang memiliki sifat malas. Memperbanyak tidur, memperbanyak main-main, tidak beribadah, tidak bekerja, tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat. “Malas melaksanakan shalat, malas berjamaah di masjid, malas ikut pengajian dan malas menolong orang. Kita sembelih sifat-sifat ini agar tidak sama dengan binatang,” papar pria asli Paciran Lamongan ini.
Sebagai orang Islam yang punya kekuatan fisik, terutama yang laki-laki, tidak boleh menjadi orang yang berstatus pengangguran. “Pasti ada pekerjaan kalau mau,” tegasnya.
Binatang juga ada yang punya sifat memangsa. Ketika bersifat memangsa maka tidak ada rasa keadilan. Tidak kenal kesetaraan sosial dan tolong menolong. Adanya yang kuat memangsa yang lemah. “Di hutan dikenal ada hukum rimba. Binatang yang kuat dan buas memangsa binatang yang lemah. Kita manusia yang bermartabat diajari untuk meninggalkan dan menyembelih sifat memangsa itu,” ungkapnya.
Pesan moral selanjutnya adalah jiwa sosial, sifat tolong menolong dan peduli kepada sesama. Kurban yang kita laksanakan itu diperintahkan oleh Allah untuk memakan sebagian dari daging kurban binatang itu dan diberikan kepada fakil miskin.
Ulama fiqih kemudian merinci kurban itu dimakan oleh yang berkurban sebagian kecil, kalau harus banyak maksimal sepertiga. “Sisanya sepertiga untuk duafa dan fakir miskin, serta sepertiga untuk hadiah bagi siapa saja termasuk untuk nonmuslim,” terangnya.
Pembagian daging kurban disamping mencukupi kebutuhan gizi manusia juga untuk menjalin persaudaraan dan silaturahim, memupuk kebersamaan sesama umat dan bangsa. “Karena itu Rasulullah bersabda tidak termasuk orang yang beriman kepadaku jika seseorang semalaman tidur kenyang sementara tetangganya tidak bisa tidur karena lapar. Dia tahu dan dia diam saja,” tuturnya menyitir salah satu Hadist Nabi.
Memberi sesuatu kepada tetangga atau saudara, menjadi kunci adanya iman kita kepada Rasulullah. Oleh karena itu jika setiap umat Islam punya kepedulian kepada tetangga maka tidak akan ada tetangga yang terlantar kelaparan. Maka kehidupan menjadi tenang.
“Orang yang memiliki harta cukup maka sejahtera hidupnya dengan harta itu . Sementar orang yang ditakdirkan hartanya kurang tidak akan ketakutan akan menjadi kelaparan karena tetangganya punya kepedulian,” jelasnya.
Maka benar dikatakan membangun solidaritas sosial itu akan menciptakan kesejahteraan. “Sejahtera itu harus dibarengi dengan situasi masyarakat sosial yang baik, aman, rukun dan damai. Kurban diharapkan akan menciptakan hal semacam itu,” ujarnya. (*)
Kontributor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.