PWMU.CO-Forum Dekan Fakultas Hukum (FH) dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) se-Indonesia menolak RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disahkan DPR.
Pernyataan itu disampaikan di Ruang Sidang Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di Kampus Terpadu, Selasa (10/9/2019).
Hadir dalam acara ini Ketua Forum Dekan FH dan Ketua STIH PTM se-Indonesia Dr Trisno Raharjo, Sekretaris Forum Rahmat Muhajir SH MH, Dekan Universitas Muhammadiyah Magelang Dr Dyah Adriantini SH MHum, dan Dekan Universitas Muhammadiyah Purworejo Sheila Kusuma SH MH.
Seperti diberitakan, Sidang Paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-undang KPK menggantikan UU No 30 tahun 2002 menjadi usul DPR untuk dibahas. Tapi RUU KPK ini menjadi kontroversial karena kewenangan KPK dibatasi.
Ketua Forum Dekan FH dan Ketua STIH PTM se-Indonesia Dr Trisno Raharjo menyampaikan, terdapat tiga hal yang dirumuskan oleh forum setelah mengkaji Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK yang dikeluarkan DPR itu.
Pertama, kata dia, menolak RUU KPK yang bertujuan melemahkan KPK. Kedua, meminta kepada Presiden Jokowi menindaklanjuti RUU usulan DPR itu dengan tidak mengeluarkan Surat Presiden untuk membahasnya.
Ketiga, meminta kepada seluruh elemen masyarakat, pimpinan lembaga negara dan perguruan tinggi untuk mendukung penguatan KPK dalam pemberantasan korupsi.
Pihaknya segera mengirimkan surat penolakan yang ditulis oleh 40 anggota forum kepada Presiden Jokowi sebagai masukan. Anggota forum ini terdiri dari 36 Fakultas Hukum yang berada di bawah PTM dan 4 STIH.
Setelah mempelajari pasal-pasal RUU itu, Trisno Raharjo menduga ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK. Contoh, dalam pasal 3 menyebut KPK lembaga independen. Dalam revisi UU hendak diubah menjadi lembaga eksekutif.
”Keberadaan dewan pengawas sebagai instrumen baru juga akan menghilangkan sisi independensi KPK,” tandas Trisno.
Apalagi pemilihan personal Dewan Pengawas ditentukan oleh presiden. ”Mekanisme ini berpotensi akan merusak sistem peradilan pidana dan mengebiri kewenangan KPK,” jelasnya.
Sementara Sekretaris Forum Dekan Rahmat Muhajir menyoroti soal nominal tipikor yang bisa ditangani KPK. Dalam revisi UU tertulis, KPK hanya bisa menangani kasus tipikor dengan nilai minimal Rp 1 miliar.
Hal itu, menurut dia, bisa menjadi preseden buruk dan makin suburnya tipikor dengan nilai ratusan juta. Dari data KPK saat ini, banyak sekali Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK dengan nominal ratusan juta rupiah.
Sedangkan Dyah Ardianti menyoal poin revisi UU KPK yang menyebutkan, jika kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan harus koordinasi dengan Jaksa Agung. ”Ini merusak independensi KPK,” tandasnya.
Dalam revisi pasal tersebut juga menyatakan, KPK mempunyai kewenangan dalam menerbitkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan).
”Ini sangat aneh. Dalam sejarah KPK tidak pernah ada penerbitan SP3,” papar Dyah lagi. ”Langkah ini bisa membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan negosiasi perkara.”
Terkait pengangkatan penyelidik dan penyidik yang harus berasal dari Polri dan Kejaksaan, disinggung Shelia Kusuma. ”Ini menutup jalan KPK menjadi lembaga yang mandiri,” ujar Shelia Kusuma.
Menurutnya, aturan ini jelas bertentangan dengan dengan putusan MK No. 109/PUU-XII/2015 yang menyatakan bahwa KPK berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan penyidiknya.
”Jika revisi ini gol, bisa menghambat independensi kinerja KPK serta sangat mungkin bisa bergesekan dengan Polri dan Kejaksaan,” terang Sheila Kusuma. (*)
Penulis Affan Safani Adham Editor Sugeng Purwanto