PWMU.CO – Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Indonesia berduka. Rabu, 11 September 2019 telah berpulang salah satu tokoh dunia dari Indonesia: Prof Dr (Ing) Baharuddin Jusuf Habibie.
Habibie pulang ke haribaan Allah SWT setelah 20 tahun pensiun dari dunia politik Indonesia, pada tahun 1999.
Habibie—yang demikian brilian mengatasi dampak krisis moneter dan ekonomi 1997-1998 yang berkembang menjadi krisis multidimensi hingga 1999—secara single fighter menjadi Presiden tanpa wakil sejak pengunduran diri Presiden Soeharto 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999 dengan terpilihnya Presiden Abdurrahman Wahid.
Salah satu prestasi menonjol dalam bidang ekonomi Presiden Habibie bersama Kabinet Reformasi Pembangunan yang dipimpinnya yaitu menurunkan nilai tukar rupiah menjadi Rp 6.500-an per USD1 dari sebelumnya Rp 16.500-an per USD1.
Kemampuan memahami masalah dan penyebab krisis ekonomi menjadi kartu truf Habibie bersama timnya. Dalam buku Pandangan dan Langkah Reformasi BJ Habibie yang diterbitkan Sekretariat Wakil Presiden RI 1999, seluruh langkah demi langkah reformasi khususnya dalam bidang ekonomi dan politik tertulis jelas.
Reformasi ekonomi pertama-tama diarahkan pada usaha mengatasi krisis ekonomi yang disebabkan oleh besarnya utang swasta dan lemahnya sektor perbankan.
Selanjutnya, reformasi ekonomi juga ditujukan untuk memperkuat ketahanan ekonomi dan memeratakan hasil pembangunan serta mewujudkan keadilan, sehingga penekanan diberikan kepada pengembangan ekonomi rakyat.
Reformasi ekonomi ditekankan pada pengembangan sumber daya manusia dan penguatan lembaga perekonomian. Dengan demikian, perekonomian nasional tidak rentan lagi terhadap gejolak ekonomi dan senantiasa dapat melakukan penyesuaian dengan baik.
Era pemerintahan Presiden Habibie yang hanya sekitar 500-an hari hakikatnya sebuah blue print atau cetak biru dalam mengelola ekonomi Indonesia pascakrisis multidimensi 1998-1999. Kalau boleh, penulis mencoba membandingkan situasi ekonomi masa 20 tahun setelah 1998 dan 20 tahun sebelum 1998 serta keberadaan dan tanpa Habibie di dalamnya.
Tahun 1978 sebagai awal masuknya Habibie dalam birokrasi politik pemerintahan sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Masuk dunia birokrasi politik yang ikut memengaruhi kebijakan makro ekonomi pembangunan nasional setelah sebelumnya sebagai “tukang” atau teknokrat tulen di Pertamina Advance Technologi dan PT Nurtanio yang menjadi tulang punggung pembangunan industri dirgantara.
Rekam jejak di dalam birokrasi politik yang panjang sejak 1978 sebagai modal besar Habibie saat menjadi Presiden periode 1998-1999. Duapuluh tahun masa pemerintahan Orde Baru praktis mendapat sentuhan ide-ide brilian Habibie hingga memunculkan istilah Habibienomics setelah era Widjojonomics pada masa awal Orde Baru 1968 hingga 1978.
Empat warisan Habibienomic
Habibienomics antara lain menekankan pada pengembangan sumber daya manusia unggul utamanya bidang teknologi. Sumber daya manusia unggul diharapkan akan mampu menciptakan nilai tambah (value added) atas bahan-bahan mentah yang tersedia melimpah di nusantara.
Tidak lupa juga dimasukkan unsur iman dan takwa dalam mempersiapkan sumberdaya unggul yang dimaksud. Akronim iptek dan imtak—ilmu pengetahuan teknologi dan iman takwa—menjadi populer pada tahun 1990-an. Tahun 1990 juga berdiri Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia yang berorientasi mengamalkan konsep iptek dan imtak di segala bidang secara nyata.
Semangat iptek dan imtak dalam bidang ekonomi mendorong lahirnya bank syariah pertama di Indonesia. Tahun 1991 atau satu tahun sejak berdirinya ICMI pemerintah dan Bank Indonesia menyetujui berdirinya Bank Muamalat Indonesia.
Sistem perbankan syariah yang setelah krisis ekonomi 1998 semakin diminati dengan hadirnya Bank Syariah Mandiri pada tahun 1999 dan bank-bank syariah lainnya yang semakin banyak jumlahnya saat ini.
Habibienomics sejauh ini menurut penulis telah menghasilkan empat hal pokok yaitu: sumber daya manusia unggul, penguasaan teknologi tinggi, ekonomi kerakyatan, dan ekonomi syariah.
Sebuah pencapaian yang didukung oleh politik yang stabil era Orde Baru serta transparansi, kebebasan pers dan politik Era Reformasi. Sekiranya bangsa ini mau jujur mengakui bahwa setelah Presiden Habibie mundur dari pemerintahan, situasi sosial ekonomi politik negeri ini tidak lebih baik.
Wafatnya Habibie kiranya mampu menyadarkan bangsa ini untuk meneladani kiprah beliau yang sungguh-sungguh demi kemajuan NKRI.
Keran demokrasi yang beliau buka lebar demi kemajuan bidang politik sebagai modal pemerataan hasil pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Sejauh ini dinamika politik belum menghasilkan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat luas.
Pak Habibie telah mendahului menghadap Sang Khalik, tetapi hakekatnya gagasan dan bukti karya beliau tidak pernah mati bagi yang mau jujur menghargai prestasi beliau.
Ada pepatah “pelita tidak mampu menerangi orang yang buta” artinya kurang lebih prestasi dan kecerdasan satu atau dua orang saja tidak bisa dipahami oleh banyak orang yang wawasannya belum terbuka.
Tugas Muhammadiyah kiranya dengan aktivitas dakwah dan pendidikannya membuka mata masyarakat yang masih “buta”. Bi idznillah slogan SDM Unggul Indonesia Maju bisa segera diwujudkan oleh kiprah Muhammadiyah bersama seluruh elemen bangsa lainnya dan pemerintah sebagai panglimanya.
Tentu bukan kebetulan jika Habibie menunjuk Dr Ahmad Watik Pratiknya tokoh Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai ketua pertama The Habibie Center. Wallahu’alambishshawab. (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto, Auditor di Kantor Akuntan Publik.