PWMU.CO – LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) lahir dari kandungan ideologi fasad (merusak). Lebih kurang tahun 1970-an, LGBT oleh dunia masih dianggap aib. Tabu. Penyakit sosial. Bahkan pelakunya bisa dipidana. Tahun 1980-an sudah dianggap sebagai kelainan individual. Harus dikasihani. Ditolerir. Lewat tahun 1990 dipandang sebagai hak asasi manusia.
Sampai akhirnya negara seperti Norwegia, Belanda, Inggris, Belgia, Brasil, Argentina, Amerika, Afrika Selatan, Mexico, Taiwan melegalkan perkawinan sejenis kelamin. Hingga kini sudah lebih kurang 30 negara yang melegalkannya.
Jangan kaget di negara-negara itu di kartu susunan keluarga (KSK) maupun akta nikah jika ditulis status suami tidak mesti laki-laki dan istri tidak mesti perempuan. Status suami bisa saja kelaminnya wanita, demikian pula sebaliknya status istri tapi kelaminnya laki.
Jangan ditanyakan kalau suami istri berjenis kelamin sama-sama laki bagaimana cara hubungan syahwatnya. Demikian jika suami-istri sesama wanita. Ya pasti ganjillah. Namanya juga perilaku seks menyimpang dari kodrat.
Karena sudah legal menurut hukum negara, maka siapa yang mencela, melarang, atau menghalangi perbuatan mereka—entah dengan dasar hukum Tuhan ataupun dalil moral—bisa terkena hukuman dengan tuduhan ujaran kebencian, diskriminasi, perbuatan tidak menyenangkan. Orangtua pun jika melarang anaknya mau kawin dengan sejenis, bisa kena pidana.
Tak pelak lagi legalitas pernikahan sejenis telah menjebol batas identifikasi laki-laki dan perempuan sesuai kodrat Tuhan. Hukum Tuhan dikalahkan oleh hukum manusia. Tuhan melarang LGBT sampai-sampai bangsa Sodom dan Gomoroh atau umat Nabi Luth ditenggelamkan ke bumi. Supremasi Tuhan digeser oleh supremasi humanisme sekuler. Kebenaran lantas menjadi suka-sukanya manusia.
Kasus perkawinan sejenis adalah suatu contoh bagaimana Yakjuj dan Makjuj mengembangkan ideologi fasad. Perlahan tapi pasti. LGBT hanyalah salah satu contoh.
Contoh lain, utang berbunga atau rente menurut hukum Tuhan adalah riba (haram). Pada awalnya ditentang, diharamkan. Tapi sekarang sudah menjadi kelaziman. Bahkan lembaga-lembaga rente seperti IMF dan World Bank sudah dipandang sebagai dewa penyelamat suatu negara.
Demikian pula proses penghancuran agama oleh operator ideologi fasad. Agama merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan, kesejahteraan. Apalagi Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Dan agama memang musuh ideologi fasad. Dengan pisau liberalisme dan sekularisme, agama dicincang-cincang, diserpih-serpih dan dinistakan.
Proses penghancuran agama dibahas dalam artikel The Evil of Liberalism oleh Judson Taylor, tokoh besar Misionaris. Artikel itu ditulis sekitar 1850-an, dalam sebuah buku kumpulan esai berjudul An Old Landmark Re-Set diterbitkan ulang tahun 1856 dengan editor Elder Taylor.
Liberalisme keagamaan mula-mula yang terkena adalah agama Kristen. Para pemimpin agama dijebak dengan kekuasaan, kekayaan dan puji-pujian. Lama-lama lupa melayani Tuhan, melayani umat, dan berganti menguasai umat.
Judson juga menguraikan, banyak mengingkari firman Tuhan. Mengakui berbagai kesalahan di zamanya dan juga kebenaran. Tapi lebih banyak mengakui kesalahan. Mengakui Tuhan hanya sebatas untuk kepentingan kemanusiaan, ketika ajaran Tuhan tidak dapat diterima maka akal manusia dimenangkan.
Tidak ada yang mutlak dan pasti tentang Tuhan. Mempromosikan keraguan beragama yang tidak berarti. Mendukung keyakinan keagamaan dan praktiknya yang populer. Kristen diserpih-serpih dengan sektarian. Bahkan agama dipandang sebagai candu masyarakat seperti dikatakan Karl Marx.
Agama, kata filosuf eksistensialisme Albert Camus tidak mendukung supremasi kemanusiaan. Malah menciptakan permusuhan, perepecahan, pertikaian. Penghancuran martabat manusia. Bagi Camus, sepak bola lebih bernilai dari agama karena di sepak bola orang bisa rukun.
Orang yang berpikir liberal hanya ingin menghargai pemikiran bebas. Bebas dari kepercayaan yang dianggap membelenggu. Aroma humanisme begitu menonjol. Sebab manusia menjadi ukuran segala sesuatu (man is a measure of everything).
Dampaknya terhadap Kristen semakin hari cenderung semakin parah. Trend di Eropa dan Amerika adalah gereja kosong ditinggal pengikutnya, gereja dijual, minimal dimerger meskipun beda sekte.
Dalam buku Being Radical to Jesus yang ditulis Obed Krisnantyo Aji menyerukan agar umat Kristiani melawan memerangi musuh-musuh iman yang menjadi penyebab gereja-gereja tidak lagi memiliki iman yang radikal. Musuh-musuh itu adalah liberalism, materialism, hedonism, dan ketakutan.
Gejala liberalisme Kristiani abad ke-19 itu sudah nampak jelas kesamaannya dengan yang terjadi di Islam. Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, intelektual Muslim Indonesia mengatakan, gejala itu terlihat adanya muslim liberal menggugat Alquran. Mengatakan sebagian ayat Quran sudah tidak relevan. Membela aliran sesat. Mendulukan akal dan kemanusiaan dari pada Tuhan. Mendukung paham relativisme. Mempromosikan paham skeptisisme. Menghalalkan hubungan seksual sebelum nikah.
Umat Islam diserpih-serpih dalam sektarian, mazhab, firqah. Satu sama laib saling bermusuhan. Merasa sekte atau kelompoknya yang paling unggul. Diciptakan kondisi untuk saling ghibah, mencaci, mencurigai.
Sampai lupa surat Al Hujurat 10-12 bahwa umat Mukminin itu bersaudara. Umat Islam dilanda hoax secara sistematis sehingga lupa Al Hujurat ayat 6 bahwa hoax, fake news bisa menghadirkan kehancuran suatu umat, bangsa.
Kini agama-agama, terutama Islam, distigma dengan terorisme radikalisme, intoleransi, rasialisme bahkan fasisme. Untuk melegitimasi stigmatisasinya dibikinlah jihad palsu seperti ISIS, Al Qaeda, Komando Jihad dan lain-lain. Tokoh-tokoh agama dikriminasisai, dinistakan.
Eksistensi agama dijungkirbalikkan dari rahmat menjadi fasad. Dijadikan musuh kemanusiaan. Mereka menutup dari pesan bahwa umat manusia adalah bersaudara (Al Hujurat 13). Bahkan Allah memuliakan manusia (Al Isra 70).
Kehidupan Kahfi
Proses pergerakan Yakjuj dan Makjuj itu bisa dianalogkan dengan kabut asap. Semakin lama intensitasnya semakin meluas dan semakin tebal. Lantaran misinya adalah menyebarkan ideologi fasad, maka semakin lama kerusakan yang ditimbulkan juga semakin berat.
Modusnya sangat beragam. Canggih. Meliputi semua aspek kehidupan. Seolah kehidupan sedang didorong min an-nuri ila dhulumat (dari terang ke gelap). Semakin mendekati kiamat semakin parah.
Sehingga dunia ini menjadi seperti goa yang tingkatannya mulai remang-remang sampai gelap pekat berjelaga. Allah sudah memberikan inspirasi di Quran Surah Kahfi. Surah ini punya kandungan yang banyak kaitan dengan akhir zaman. Manusia akhir zaman seperti hidup di dalam kahfi (goa).
Bisa jadi proses pergerakan inilah yang dimaksud dengan istilah dukhan sebagai salah satu tanda dekatnya hari kiamat. “Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas. Yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih”.(Dukhan 10-11).
Jika menurut perspektif dhahiri atau harfiah atau tekstual berarti kabut asap. Maka banyak ulama dan ustadz yang mempersepsi akan ada suatu masa di mana seluruh dunia dipenuhi kabut asap yang memancar dari langit yang menyelimuti seluruh umat manusia dan menyebabkan kesengsaraan.
Adapun dalam perspektif ruhi atau batini, simbolik, dukhan adalah proses kemurkaan Allah atas perilaku fasad manusia sehingga hati manusia benar-benar ditutup (Alkahfi 17). Maka manusia akan bergelimpang dalam subhat (remang-remang). Sampai akhirnya benar-benar gelap sehingga manusia tidak lagi bisa membedakan mana yang haq (benar) dengan mana yang salah (batil). Manusia yang sudah ditutup hatinya dipastikan akan sengsara di akherat.
Akhirnya adalah seperti ditegaskan dalam Quran Surah Al A’raf ayat 179: “Dan sungguh akan Kami isi neraka Jahanam kebanyakan dari kalangan jin dan manusia, Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.
Coba dalam kasus LGBT itu. Binatang pun tidak mau kawin dengan sejenisnya. Tetapi mengapa manusia mau? (bersambung)
Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.