PWMU.CO – Dalam suatu ceramah di depan pimpinan dan keluarga besar Muhammadiyah Jawa Timur, Prof Syafiq A Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pernah berseloroh bahwa ada kalanya jenggot itu bermakna ideologis dan aksesori.
Bagi sebagian Muslim jenggot bisa bermakna ideologis. Hal itu karena mereka memahami jenggot sebagai bagian dari identitas keislaman. Bagi mereka, memelihara jenggot dan memanjangkannya merupakan bagian dari sunah Rasulullah SAW. Ringkasnya, bagi mereka memelihara jenggot dan memanjangkannya memiliki sandaran normatif-teologis yang kuat.
Sementara bagi sebagian Muslim yang lain, atau bahkan kebanyakan orang, jenggot itu sekedar aksesori alias hiasan. Memelihara jenggot bagi mereka hanya untuk memperindah penampilan. Jauh dari alasan-alasan yang bersandar pada dalil-dalil agama. Apalagi dikaitkan dengan hukum agama: mubah-haram, sunah-wajib, atau pahala-dosa.
Melihat fenomena seorang Muslim berjenggot atau tidak berjenggot harus dipahami sebagai pilihan. Yang penting diingat, mereka yang berjenggot tidak boleh menyalahkan yang tidak berjenggot dengan alasan tidak mengikuti sunah Nabi SAW.
Sebaliknya, mereka yang tidak berjenggot juga tidak boleh menyalahkan yang berjenggot. Apalagi menjadikan jenggot panjang sebagai bahan olok-olokan. Bahkan ada yang mengaitkan panjang pendeknya jenggot sebagai ukuran kecerdasan seseorang.
Dengan meminjam istilah mantan Menteri Agama Abdul Mukti Ali, marilah kita bersepakat dengan perbedaan (agree in disagreement). Dengan berprinsip demikian, maka tidak boleh ada klaim kebenaran (truth claim). Bukankah dalam sebuah al-mahfudzat (kata-kata bijak) dikatakan: ikhtilafu ummatiy rahmah (perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat).
Kalimat bijak ini dipahami Muhammad Assad dengan makna, “Perbedaan di kalangan umatku (yang terdidik) adalah rahmat.” Muhammad Assad (Leopold Weiss), penulis The Message of the Quran, menjelaskan bahwa perbedaan itu akan menjadi rahmat jika dialami orang-orang yang terdidik-terpelajar. Sebaliknya, perbedaan akan menjadi bercana atau fitnah jika terjadi pada orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan.
Karena itulah, maka terhadap perbedaan perspektif mengenai jenggot kita harus mendudukkan persoalan itu dalam suasana yang santai. Tidak boleh ada gontok-gontokan, apalagi saling mencela. Sebab, yang diperdebatkan hanya soal simbol-simbol yang dipahami sebagian orang sebagai identitas keislaman, bukan substansi ajaran Islam itu sendiri.
Juga penting dikembangkan pemahaman untuk menggeser pemaknaan Islam dari sekadar yang simbolik ke yang substantif. Sebab, menyederhakan Islam dengan sesuatu yang bersifat simbolik, tentu jauh dari makna terdalam dari ajaran Islam. (*)
Kolom oleh Biyanto, Dosen UINSA dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.