PWMU.CO – Pria kurus kecil 73 tahum itu akhirnya pergi juga hari ini, Rabu (9/10/19), menemui Sang Khaliq yang dicintainya lebih dari apapun. Selama enam bulan terakhir ini energi psikologisnya terkuras habis.
Bukan penyakit yang mempercepat kepergiannya, tapi kekhawatirannya atas nasib umat Islam yang makin terpuruk. Bayangkan, partai yang dia ikut membidaninya harus dia tinggalkan. Ini pukulan psikologis yang berat sekali. Sulit membayangkan sosoknya tanpa Islam politik.
Saya kenal Pak Tamat sejak mahasiswa, sekitar 35 tahun silam. Sebelum HMI memperkenalkan masalah-masalah umat, Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) telah ikut memaparkan saya pada tugas yang diemban oleh pemuda Muslim di Indonesia. Terakhir adalah permintaan beliau agar saya mau ikut ngopeni PTDI.
Petang ini saya ingat almarhum ayah saya, Ibrahim Tjondro Kartiko, yang sudah pergi menghadap-Nya hampir 30 tahun silam segera setelah saya kembali ke tanah air dari studi lanjut di Inggris.
Ayah saya adalah seorang Masyumian. Pilihan politiknya ini ternyata mengharuskannya hidup lebih sulit dari rata-rata teman-temannya. Idolanya adalah Mohammad Natsir, pemimpin Partai Masyumi. Almarhum Tamat Anshory Ismail boleh disebut sebagai Natsirnya Jawa Timur melalui kiprahnya di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jatim.
Siang tadi sang mujahid itu telah pergi untuk selama-lamanya. Di langit sore menjelang Maghrib itu saya lihat sebuah kereta kencana berderap cepat di antara awan putih. Saya lihat pak Tamat dan Pak Natsir duduk bersebelahan sedang berbincang riang.
Ketahuilah, orang yang baik itu kini menemukan kegembiraannya. Lambat atau pasti kami penerus Pak Tamat pasti menyusulnya. (*)
Gunung Anyar, 9 Oktober 2019
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.